TINJAUAN ETIS
TERHADAP KASUS “BERBOHONG DEMI KEBAIKAN DALAM PERSPEKTIF ALKITAB” DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KEHIDUPAN ORANG PERCAYA
SKRIPSI
RUTH PRIHATINI
CIANJUR,
AGUSTUS 2014
BAB
1
PENDAHULUAN
Bab pertama, memaparkan tentang
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, ruang lingkup penulisan, penegasan istilah, metode penulisan,
manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.
Latar Belakang Masalah
Setiap orang memungkinkan untuk diperhadapkan
pada pilihan yang “dilema”[1]
di mana harus melakukan suatu kebohongan untuk kebaikan. Selain itu juga sering
terjadi pro dan kontra tentang berbohong demi kebaikan. Ada orang yang
mengatakan tidak boleh berbohong demi alasan apa pun. Berbohong untuk kebaikan adalah
dosa.[2]
Pendapat lain mengatakan bahwa berbohong
demi kebaikan diperbolehkan, apalagi dengan tidak mengatakan sebenarnya demi
membantu seseorang, asalkan demi tujuan yang baik, atau berbohong demi
menyelamatkan diri sendiri, atau orang lain dengan tujuan yang baik.[3]
Salah satu contoh kasus pelik yang menyebabkan seseorang berbohong demi
kebaikan adalah kasus Hadiwijaya.
Hadiwijaya berasal dari Cepu Jawa Tengah yang merantau ke Deli di tahun 1963
dan bekerja di Perkebunan Saentis PPN Sumatra Utara. Perkebunan ini berada di
Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara, lokasinya
di pinggiran Kotamadya Medan. Hadiwijaya bekerja sebagai buruh cangkul di
perkebunan tembakau.[4]
Tahun 1965-1966 terjadi suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran sejarah hitam bangsa
Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan
negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota dan
pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan
perlawanan terhadap negara. Pada tanggal 15 Oktober 1965 Hadiwijaya ditahan
karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
atau G.30.S/PKI, yang berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa orang-orang yang
masuk dalam daftar inilah yang kemudian mengalami berbagai bentuk kejahatan
yang masuk dalam kategori kejahatan pelanggaran HAM yang berat.[5]
Dalam peristiwa ini, Hadiwijaya berbohong demi keselamatan dirinya dari
pembantaian di Sei Ular. Dia melarikan
diri dari tahanan yang akan membantainya dan bergabung dengan dua puluh orang
kawan-kawannya sesama tahanan lainnya yang diperkirakan akan dibebaskan. Ketika pengawal yang bertugas sebagai juru panggil
menghardiknya "Kau siapa!?" dan secara spontan Hadiwijaya berbohong dengan mengatakan bahwa, “Aku kernet” maka ia lepas dari pembantaian
tersebut.
Hadiwijaya
berbohong untuk menyelamatkan dirinya dari pembantaian di Sei Ular[6].
Masalah lain juga dialami oleh Corrie
Ten Boom, bagaimana dia berbohong untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari kematian
Nazi.[7]
Corrie
Ten Boom adalah seorang wanita pelayan Tuhan yang setia dan bersaksi kepada
banyak orang supaya mencintai Allah. Pada tahun 1943 dan 1944, Corrie berusaha
menyelamatkan orang-orang Yahudi dari kematian Nazi dengan cara berbohong
kepada Gestapo (polisi rahasia Nazi) dan
menyembunyikan kaum Yahudi tersebut. Pada tanggal 28 Februari 1944, Gestapo menggerebek rumah tempat persembunyian kaum
Yahudi. Gestapo telah menggeledah rumah itu dengan sistematis, tetapi Gestapo
tidak bisa menemukan dua lelaki Yahudi, dua wanita Yahudi, dan dua anggota
bawah tanah Belanda yang aman tersembunyi di balik dinding palsu di kamar
Corrie. Banyak waktu Corrie dihabiskan menjaga orang-orang ini setelah mereka
bersembunyi. Melalui kegiatan ini, keluarga Ten Boom dan banyak teman mereka menyelamatkan
nyawa kira-kira delapan ratus orang Yahudi, dan melindungi banyak pekerja bawah
tanah Belanda.[8]
Selain Hadiwijaya dan Corrie Ten Boom kasus yang serupa
ternyata dialami juga oleh Lioyd Bucer, komandan kapal mata-mata Amerika
Serikat Pueblo, bersama 23 awaknya yang tertangkap di wilayah laut Korea Utara.
Pengakuan bohong kepada pemerintah Korea
Utara untuk menyelamatkan para awak yang kemudian dibebaskan[9]
dari tahanan, siksaan/pukulan secara
teratur dan ancaman kematian.[10]
Dari contoh kasus berbohong
demi kebaikan yang dipaparkan di muka, setiap tokoh dalam kasus tersebut
diperhadapkan pada situasi yang dilematis. Pengambilan keputusan etis sering
menyangkut pilihan yang sukar. Orang yang bersungguh-sungguh pun tidak selalu
mengetahui perbuatan mana yang paling tepat. Meskipun orang betul-betul
mengabdi kepada Allah, tetapi orang itu mungkin mengalami kesusahan dalam
menentukan apakah kehendak Allah dalam suatu dilema moril.[11]
Begitu juga dengan kejujuran tidak
terjadi dengan mudah, bahkan juga di antara orang-orang Kristen. Hampir secara
otomatis mengatakan kebohongan.[12] Mengapa tidak berani jujur karena takut dengan konsekuensi-konsekuensinya,
menganggap sudah tidak ada jalan yang lebih baik selain berbohong. Berbohong
demi kebaikan dilakukan untuk kebaikan seseorang, dan juga sebagai cara pintas untuk menyelamatkan diri atau orang lain dalam
situasi terdesak.
Bagaimanakah seorang Kristen dapat berlaku jujur atau dapat mengambil
keputusan-keputusan yang bersifat moral dan etis? Orang Kristen bisa menjadi
yakin bahwa Alkitab memberikan jawaban-jawaban yang dapat dilaksanakan
berhubungan dengan dilema-dilema moral, dan juga memberikan petunjuk-petunjuk
yang dapat dipakai untuk menjalankan hidup dengan jujur.[13]
Bukankah
orang percaya dilarang berdusta (Kel.20:16)?. Di bagian lain, Alkitab bersaksi
bahwa iblislah si pendusta itu dan bapa dari segala dusta (Yohanes 8:44). Kalau
demikian, apakah orang boleh berbohong
demi kebaikan, berbohong untuk menyelamatkan
diri sendiri atau orang lain dalam situasi terdesak? Bagaimana tinjauan
etikanya baik secara umum maupun secara alkitabiah dari kasus-kasus di atas,
bolehkah berbohong walaupun kondisinya
diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik?
Berdasarkan latar belakang di
atas, penulis tertarik untuk menuliskan skripsi ini dengan judul “Tinjauan
Etis terhadap Kasus Berbohong demi
Kebaikan dalam Alkitab dan Implikasinya terhadap Kehidupan Orang Percaya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perlu dirumuskan
pokok-pokok penting permasalahannya, sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
tinjauan umum tentang berbohong demi kebaikan?
2.
Bagaimanakah
perspektif Alkitab tentang berbohong demi kebaikan?
3.
Apa implikasinya terhadap kehidupan orang
percaya?
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1.
Memaparkan
tinjauan umum tentang berbohong demi kebaikan.
2.
Memaparkan
perspektif Alkitab tentang berbohong
demi kebaikan.
3. Menjelaskan implikasinya terhadap kehidupan orang percaya.
Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup pembahasan penulisan skripsi
ini dibatasi hanya pada kasus-kasus yang pelik dan dilematis “berbohong demi
kebaikan” menurut iman Kristen. Kasus
yang pelik ini dibatasi hanya pada kasus-kasus yang darurat untuk menyelamatkan
orang atau diri sendiri dari ancaman kematian. Pembatasan ini dilakukan supaya memudahkan pembahasan,
sehingga tidak meluas dari pokok bahasan yang dibicarakan.
Penegasan
Istilah
Berkenaan
dengan judul skripsi ini, maka perlu ada penegasan dari beberapa istilah yang
dipakai agar tidak terjadi salah pengertian. Istilah yang perlu ditegaskan
dalam skripsi ini adalah:
1.
ETIS adalah
hubungan sesuai dengan etika. Etika secara umum yaitu perbuatan baik yang
berdasarkan keputusan yang diambil dari proses analisa dan pertimbangan atas suatu hal atau masalah.[14]
Etika Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas yaitu
berlandaskan sesuatu yang mutlak dari
Allah Yang Maha Tinggi, etika ini harus dilakukan oleh orang Kristen.[15]
2.
BERBOHONG
menyatakan sesuatu yang tidak benar. Berbuat bohong, dusta.[16]
Jadi berbohong atau berdusta adalah menyaksikan sesuatu yang tidak benar kepada
seseorang dengan maksud yang disengaja.
3.
KEBAIKAN adalah sifat baik, perbuatan baik,
kegunaan, sifat manusia yang dianggap baik menurut sistem norma dan pandangan
umum yang berlaku.[17]
Kebaikan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah apa yang Allah kehendaki
baik. Tindakan
apapun yang ditetapkan Allah sebagai tindakan yang baik adalah satu tindakan
yang baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki satu tindakan itu jahat, maka
tindakan itu jahat.[18]
4.
IMPLIKASI merupakan keterlibatan atau keadaan terlibat manusia sebagai objek pencobaan
atau penelitian yang semakin terasa manfaat dan kepentingannya.[19]
5.
ORANG
PERCAYA adalah setiap orang yang mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat dalam kehidupannya secara pribadi. Orang yang percaya
sering disebut juga sebagai anak-anak Allah yang menikmati pimpinan Ilahi dari
Roh Kudus, dan menjadi ahli waris bersama-sama dengan Kristus dalam kekekalan
(Roma 8:17).[20]
Metode Penulisan
Jenis penulisan yang dipakai dalam skripsi ini adalah kualitatif, metode
penulisan deskriptif dengan studi kasus, yaitu bersifat memaparkan dengan
menggunakan pendekatan pustaka (library
research). Pendekatan teorinya adalah etika biblika dengan menggunakan
sistem etika absolutisme bertingkat. Adapun buku-buku yang digunakan ada dua sumber,
yaitu sumber primer (utama) dan sumber sekunder. Sumber pustaka primer yang
digunakan dalam skripsi ini adalah Alkitab sebagai dasar berteologi dan
merupakan tolok ukur untuk mengkaji kasus-kasus “berbohong demi kebaikan.” Sumber
pustaka sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang ditulis oleh teolog-teolog
Kristen yang membahas tentang berbohong, jurnal, dan media informasi yang mendukung topik
yang akan dibahas.
Manfaat Penulisan
Dengan penjelasan penulisan yang
telah dipaparkan maka penulisan ini sangat
penting dan bermanfaat bagi:
1.
Penulis,
supaya memahami tentang tinjauan etis terhadap berbohong demi kebaikan dan
mengimplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Sekolah,
menjadi sebuah referensi tentang etika dalam kaitannya “berbohong demi kebaikan.”
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Bab pertama, memaparkan tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, penegasan
istilah, metode penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan memaparkan mengenai tinjauan etika Kristen berbohong demi
kebaikan yang meliputi: definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan,
tujuan berbohong demi kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan
tinjauan etika secara umum tentang pemahaman berbohong demi kebaikan. Tinjauan
etika secara umum yang penulis paparkan
terdapat dalam enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total,
absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Bab ketiga, akan diuraikan perspektif
Alkitab tentang berbohong demi kebaikan, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam
Perjanjian Lama penulis mengambil dari Kitab-kitab Pentateukh, yaitu kisah
tentang Abraham, Ishak, Yakub, Sifra dan Pua. Selain itu dalam Kitab-kitab
Sejarah terdapat kisah tentang Rahab, dan kisah Daud. Dalam Perjanjian Baru
penulis mengambil kisah Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus dan perbandingannya
dengan Ananias dan Safira. Penulis juga menguraikan sikap yang seharusnya dilakukan oleh
orang percaya dalam menyikapi kasus “berbohong demi kebaikan.”
Bab keempat, akan diuraikan sikap orang percaya terhadap berbohong demi
kebaikan yang meliputi: selektif dalam mengimplikasikan berbohong demi
kebaikan, beberapa sikap mendasar yang harus dilakukan, menghindari situasi
pelik atau menghadapi situasi pelik. Selain itu juga diuraikan beberapa sikap
mendasar yang tidak seharusnya dilakukan, baik memilih berbohong untuk
keuntungan diri sendiri, berbohong demi kebaikan dalam situasi tidak pelik
maupun memilih kewajiban yang lebih rendah dari kewajiban yang lebih tinggi.
Bab kelima, menguraikan kesimpulan dan saran sebagai hasil dari kajian
skripsi ini.
BAB
2
TINJAUAN ETIKA
KRISTEN
BERBOHONG
DEMI KEBAIKAN
Dalam bab kedua ini penulis akan memaparkan mengenai
definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan, tujuan berbohong demi
kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan tinjauan etika secara umum tentang pemahaman berbohong demi kebaikan.
Tinjauan etika secara umum yang penulis paparkan terdapat dalam enam sistem
etika dasar, yaitu: antinomianisme,
situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme
bertingkat.
Definisi Berbohong secara Umum
Definisi umum kebohongan
adalah suatu ketidaksesuaian yang disadari antara pikiran dan perkataan, tidak
memadai sama sekali. Kebohongan adalah penolakan, penyangkalan, dan perusakan
yang disadari dan disengaja atas realitas yang diciptakan Allah dan yang berada
di dalam Allah, tidak peduli apakah tujuan ini dicapai melalui perkataan atau
melalui diam.[1] Menurut
Saint Augustine, setiap pembohong mengatakan
kebalikan dari apa yang ada di dalam pikiran atau di dalam
hatinya, dengan tujuan untuk menipu. Dusta adalah
suatu pemalsuan yang disengaja.[2]
Kebohongan juga disebut
kepalsuan, adalah jenis
penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk
menipu orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia
atau reputasi, menolong
orang lain, melindungi diri sendiri, mencari keuntungan, atau untuk
menghindari hukuman atau tolakan untuk satu tindakan. Berbohong adalah
menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar. Seorang pembohong adalah orang yang berbohong, yang
sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung oleh alam untuk berbohong
berulang kali -- bahkan ketika
tidak diperlukan.
Kebohongan merupakan suatu ‘penyakit
kronis’ yang mengakar dalam diri manusia setiap ia melakukannya. Dengan begitu,
kebiasaan berbohong itu dapat dilakukan secara terus menerus dan
bertumpuk-tumpuk sehingga berubah menjadi kebohongan yang nyata. Kebohongannya mengarahkan
kepada hal yang merugikan, bahkan membuat diri si pembohong tidak lagi merasa
bahwa dirinya telah berbohong.[3]
Definisi Berbohong Demi Kebaikan
Berbohong demi kebaikan adalah mengatakan dengan tidak sebenarnya demi
kebaikan diri sendiri atau orang lain. Berbohong demi kebaikan merupakan suatu
inisiatif yang semata-mata untuk menolong seseorang atau diri sendiri dari hal
yang buruk yang akan menimpanya. Dalam hal ini orang tersebut tidak menemui alternatif lain, kecuali dengan cara
berbohong. Berbohong demi kebaikan memiliki beberapa tujuan diantaranya yaitu:
menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar,
dan membela yang tidak bersalah.
Tujuan Berbohong Demi Kebaikan
Seseorang yang berbohong demi kebaikan tentu
memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya. Dalam hal ini pasti menurut
pandangan umum diperbolehkan. Tujuannya
antara lain ialah: untuk menyelamatkan dari ancaman kematian, menerapkan kasih
yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Menyelamatkan dari Ancaman Kematian
Seperti
yang telah dipaparkan di latar belakang masalah bahwa kasus Hadiwijaya, Corrie
ten Boom, dan Lioyd Bucer, berbohong
dengan tujuan menyelamatkan orang dari situasi yang sulit. Berbohong
demi menyelamatkan termasuk berbohong demi kebaikan, karena menyelamatkan
seseorang berarti mencegah pembunuhan. Demikian juga di dalam Firman Allah yang
mengatakan “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Seharusnya setiap orang mematuhi
perintah Firman Allah yang melarang untuk membunuh. Begitu juga membiarkan orang untuk dibunuh
dengan tanpa usaha untuk menyelamatkan nyawa dari ancaman
kematian,
berarti tidak memeliki belas kasihan, maka
sebaiknya orang berusaha mencegah pembunuhan tersebut dengan cara menyelamatkannya.
Kasih yang Lebih Besar
Selain berbohong dengan tujuan menyelamatkan, seseorang
berbohong dengan tujuan untuk menunjukkan kasih yang lebih besar kepada sesama
manusia. Seseorang dapat menunjukkan kasih yang lebih besar ketika berusaha
menyelamatkan nyawa manusia dibandingkan mengatakan yang sesungguhnya, sehingga
orang lain dibiarkan untuk dibunuh. Seseorang dapat menunjukkan kasih kepada
sesama manusia dengan cara menolong
orang lain dalam keadaan terjepit. Jika tidak segera ditolong
kemungkinan orang lain itu akan mati. Kalau tidak melakukan apapun untuk
menolong orang yang dalam keadaan terjepit sehingga orang lain itu mati,
berarti tidak menunjukkan sikap yang mengasihi sesama manusia. Sedangkan
mengasihi sesama manusia adalah perintah Allah (Mat. 22:39). Mengasihi sesama
itu baik (Gal. 6:9) dan bertindak murah hati juga baik (Kis. 2:44-45), sebab
semua timbul dari kasih Allah (1Yoh. 5:2).[4]
Jika tidak menunjukkan bagaimana mengasihi sesama manusia, berarti melanggar
perintah Allah.
Membela yang Tidak Bersalah
Usaha untuk menyelamatkan orang yang
tidak melakukan kejahatan yang semestinya akan dimusnahkan oleh sesama manusia,
merupakan suatu kebenaran. Orang yang tidak melakukan kesalahan yang sangat
fatal, sehingga harus menerima hukuman yang tidak layak, seharusnya patut
menerima pembelaan. Dalam rangka
menyelamatkan orang-orang tersebut, walaupun dengan cara berbohong,
dapat disebut juga sebagai pembelaan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi
tujuan berbohong di sini ialah untuk membela yang tidak bersalah.
Alasan Orang Melakukan Berbohong
Demi Kebaikan
Sebagian orang beranggapan bahwa berbohong akan
mengakibatkan hasil yang lebih baik daripada mengatakan yang sebenarnya, maka
orang akan berpendapat bahwa lebih baik untuk berbohong. Sebagian orang lagi mengatakan bahwa sesuatu
yang mengerikan akan terjadi jika tidak berbohong. Hasilnya jauh lebih
baik ketika berbohong daripada berkata jujur. Kebohongan tersebut untuk melindungi orang-orang yang tidak
bersalah yang dinyatakan akan menderita ketidakadilan. Anggapan umum berbohong
demi kebaikan itu dapat dibenarkan. Kebohongan yang dilakukan dalam
keadaan darurat, pembenaran lain adalah bahwa orang berbohong, karena belum
sempat untuk memikirkan kegiatan pemilihan. Dalam hal ini memilih untuk berbohong atau jujur, kebohongan itu muncul
secara spontan demi melindungi diri sendiri atau orang lain dalam keadaan terdesak.[5]
Selain
dalam keadaan terdesak atau darurat, situasi
yang mengancam juga dapat terjadi dalam situasi ancaman jangka panjang, ketika
berbohong akan memberikan seseorang kesempatan lebih besar untuk bertahan
hidup.
Dalam Gulag atau di kamp konsentrasi tahanan bisa mendapatkan keuntungan dengan
berbohong tentang kemampuan, perilaku sesama tahanan, makanan, dan sebagainya. Dalam kondisi
kelaparan,
berbohong dengan mengatakan tidak memiliki makanan
tersembunyi, mungkin penting untuk
kelangsungan hidup keluarga.
Tinjauan
Etika Secara Umum Tentang Pemahaman
Berbohong
demi Kebaikan
Di latar belakang
masalah sudah dipaparkan bahwa, Corrie Ten Boom, Hadiwijaya,
dan
Lioyd Bucer berbohong demi kebaikan yaitu berbohong untuk menyelamatkan
kehidupan.
Orang-orang
tersebut berbohong karena
diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik. Oleh karena masalah yang sangat pelik, maka penulis mencoba mencocokkan dengan enam sistem etika dasar.
Pada
umumnya, sistem-sistem etika masuk ke dalam dua kategori: nonabsolutisme dan absolutisme. Dalam kategori
nonabsolutisme, ada antinomianisme, situasionisme, dan generalisme. Dalam kategori absolutisme, ada absolutisme total, absolutisme
konflik, dan absolutisme bertingkat.
Antinomianisme
Sistem
etika dalam kategori: nonabsolutisme yang
pertama ialah Antinomianisme.
Antinomianisme secara harafiah berarti “menentang atau sebagai pengganti hukum,” menganggap bahwa tidak ada hukum-hukum moral yang mengikat, segala sesuatu itu bersifat relatif. Penganut antinomian
sangat menekankan nilai individu di dalam membuat keputusan-keputusan etis.[6]
Sejarah
Singkat Antinomianisme
Setiap sistem etika yang terbentuk pasti
memiliki sejarah yang tidak mungkin terlupakan. Demikian juga dengan antinomianisme etis memiliki sejarah
panjang. Penulis tidak menguraikan sejarah antinomianisme yang begitu panjang,
tetapi hanya menguraikan sedikitnya ada
tiga gerakan dalam dunia kuno yang mempengaruhi bangkitnya antinomianisme yaitu: prosesisme,
hedonisme dan skeptisisme.[7]
Prosesisme
Dalam prosesnya terbentuknya sistem etika antinomianisme, seorang filsuf Yunani
Kuno Heraclitus percaya segala sesuatu di dunia ini ada di dalam keadaan yang
selalu berubah terus-menerus. Heraclitus berkata, “tidak ada orang yang
menginjak ke dalam air sungai yang sama dua kali, karena air yang terus
mengalir.” Hal ini jika diterapkan pada bidang etika, tidak ada hukum-hukum
moral yang tetap ada. Setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi.[8]
Hedonisme
Dalam prosesisme menyatakan bahwa setiap
nilai etis akan berubah seiring dengan situasi yang ada. Hal ini berbeda dengan
hedonisme. Penganut Epicurean kuno memberikan dorongan pada etika relativitas,
yang membuat kenikmatan sebagai esensi
kebaikan dan rasa sakit sebagai esensi kejahatan, yang dikenal sebagai hedonisme.
Kata hedon berasal dari bahasa Yunani yang berarti kenikmatan.[9]
Kenikmatan relatif bagi orang, tempat dan zaman. Tinggal di desa merupakan hal
yang menyenangkan bagi beberapa orang, tetapi sebagian orang merupakan
penderitaan belaka. Dengan demikian pandangan ini menyatakan bahwa apa yang
secara moral baik bagi seseorang mungkin jahat bagi orang lain.
Skeptisisme
Selain prosesisme, hedonisme, ada
juga skeptisisme yang mempengaruhi bangkitnya Antinomianisme. Orang skeptis menekankan
bahwa setiap masalah memiliki dua sisi (salah atau benar) dan setiap pertanyaan
dapat dibantah terus menerus. Dalam hal ini berarti tidak ada kesimpulan yang
kuat dan final yang dapat ditarik. Dengan demikian etika ini menyatakan bahwa
tidak ada yang akan dianggap benar atau salah secara mutlak.[10]
Tanggapan Antinomianisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Antinomianisme[11]
mengklaim bahwa berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah tidak benar atau salah. Tidak ada hukum. Hal ini
menegaskan bahwa tidak ada prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keadaan
sebenarnya, di mana masalah tersebut dapat dinilai benar atau salah.
Masalah ini harus diputuskan di atas dasar pandangan perasaan sendiri, personal
atau bersifat praktis dan berguna bagi umum, tetapi tidak di atas dasar moral
yang sesuai keadaan sebenarnya. Dalam memutuskan masalah tersebut benar-benar
tanpa sebuah hukum moral.[12]
Situasionisme
Sistem etika non-absolutisme yang
kedua, ialah situasionisme. Situasionisme berpihak pada satu norma
yang tidak bisa dipatahkan. Norma itu adalah hukum kasih. Posisinya bukan pandangan
yang terbatas tanpa hukum yang
berkata tidak ada hukum apapun, demikian pula bukan absolutisme total yang
mempunyai hukum untuk segala sesuatu. Posisinya
ada pada satu hukum untuk segala sesuatu, yaitu hukum kasih.[13]
Empat
Prinsip Situasionisme
Menurut Fletcher, ada empat prinsip
situasionisme yang dipergunakan yaitu: pragmatisme, relativisme, positivisme
dan personalisme. Dengan adanya empat prinsip situsionalisme bukan bermaksud
bahwa harus menyimpulkan situasionisme itu benar-benar bersifat relatif dan nonnormatif.
Dalam hal ini diartikan bahwa di dalam kerangka norma kasih yang absolute ini,
segala sesuatu yang lain bersifat pragmatis, relativistis, positivis, dan
personalistis.[14]
Pragmatisme
Pendapat Fletcher terhadap
pendekatan pragmatisme ialah: “Yang benar hanya dikaitkan dengan cara kita”.
Hal itu merupakan, apa yang berguna atau
apa yang memuaskan, memiliki tujuan yaitu, demi tercapainya kasih. Fletcher ingin
supaya kasih dapat diwujudkan dan membawa hasil. Pendekatan ini mencari
jawaban-jawaban yang konkret dan praktis.[15]
Relativisme
Di dalam relativisme menyatakan
bahwa hanya ada satu yang absolut; segala sesuatu yang lain bersifat relatif
untuknya. Harus ada satu yang mutlak untuk mendapatkan relativitas yang benar.
Hanya satu yang mutlak yaitu kasih. Di dalam situasionisme, Kristen tolok
ukurnya adalah kasih agape. Orang-orang Kristen harus dengan konstan
mengingatkan dirinya sendiri bahwa segala sesuatu yang lain relatif untuk
mengacu kepada kasih.[16]
Positivisme
Positivisme[17]
menganggap bahwa nilai-nilai didasarkan pada kehendak bebas, bukan secara
rasional. Emotivisme berbicara tentang nilai-nilai moral yang dipikirkan
sebagai ungkapan-ungkapan perasaan seseorang daripada ketentuan untuk hidup
seseorang. Etika positivistis atau emotif menempatkan seni dan moral di dalam kelompok
yang sama, keduanya menghendaki satu keputusan atau lompatan iman.
Pernyataan-pernyataan etis tidak mencari pembuktian; tetapi mencari pembenaran.
Hanya satu di dalam satu norma yaitu kasih Kristen.[18]
Personalisme
Hanya
manusia yang memiliki nilai pada dirinya. Nilai benda hanya bergantung pada
“keadaan”. Nilai benda-benda ditentukan oleh keterkaitannya dengan manusia.
Menurut Fletcher,[19]
menganggap bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai intrinsik apa yang
dimaksudkan Kant bagaimana memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan
tidak pernah sebagai alat. Demikian arti kasih yaitu menghubungkan segala
sesuatu pada kebaikan manusia.
Hubungan antara pragmatisme,
relatisme, Positivisme, dan Personalisme
Hubungan
empat prinsip situasionisme adalah situasionalisme etika dengan strategi
pragmatis, taktik yang relativisme, sikap yang positivistis dan pemusatan nilai
personalistis. Hal ini adalah satu etika dengan satu kemutlakan di mana segala
sesuatu yang lain relatif. “Tujuan yang ingin dicapai bersifat pragmatis demi
melakukan apa yang baik bagi seseorang.”[20]
Tanggapan situasionisme terhadap
berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut situasionisme[21] mengklaim
bahwa berbohong kadang-kadang benar. Hanya ada satu hukum universal[22] situationisme, seperti yang dimiliki oleh Joseph Fletcher,
mengklaim hanya ada satu hukum moral mutlak[23]
yaitu kasih. Kasih adalah
satu-satunya yang mutlak, dan
berbohong mungkin dapat dilakukan untuk mengasihi.
Bahkan, berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah hal yang dapat dilakukan dengan penuh kasih. Oleh
karena itu, berbohong kadang-kadang benar. Setiap hukum moral kecuali kasih dapat dan harus dilanggar demi
kasih. [24]
Segala sesuatu yang lain adalah relatif, hanya satu hal yang absolut. Jadi
penganut situasionis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan hidup secara
moral dibenarkan.
Generalisme
Penganut
generalisme,[25] percaya pada nilai dari hukum-hukum etis untuk membantu
individu-individu menentukan tindakan yang mana yang mungkin membawa kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak dari manusia. Penganut
generalisme bukanlah orang-orang
absolutis, karena biasanya menolak bahwa
secara umum ada norma-norma etis yang mengikat, yang mewakili
nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Beberapa
Nilai Generalisme
Tiga nilai yang berhubungan dengan pendekatan
normatif terhadap etika-etika seperti
yang diambil oleh orang-orang Kristen. Pertama, generalisme merefleksikan satu
kebutuhan akan norma-norma. Kedua, pandangan ini menawarkan satu solusi yang
mungkin ke dalam norma-norma yang bertentangan. Ketiga, norma-norma yang tidak
bisa dipatahkan.[26]
Kebutuhan akan Norma-norma
Generalisme mengakui kebutuhan akan
norma-norma yaitu untuk mencapai tujuannya.[27] Tanpa
norma-norma atau dasar-dasar normatif lainnya yang diambil dari pengalaman manusia, tidak ada cara untuk
menentukan hasil-hasil jangka panjang dari tindakan-tindakan seseorang. Tujuannya
ialah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang diketahui untuk membuahkan
hasil-hasil yang baik.
Satu Solusi Terhadap Norma-norma yang Bertentangan
Untuk memperoleh solusi terhadap norma-norma
yang bertentangan, Generalisme menawarkan satu solusi terhadap problema tentang
apa yang dilakukan ketika ada satu konflik kewajiban, seperti konflik antara mengatakan
sebenarnya atau menyelamatkan hidup. Dalam hal ini, berbohong itu pada umumnya
salah. Hanya ada satu tujuan yang mutlak yaitu “kebaikan besar”. Seluruh
cara-cara atau peraturan-peratuaran, norma-norma itu relatif untuk tujuan kebaikan lebih besar.[28] Jika
berbohong di dalam satu situasi akan menjadi lebih bermanfaat atau membantu
bagi sebagian besar manusia, maka seseorang harus berbohong.[29]
Satu norma yang tidak dapat dipatahkan
Selain akan kebutuhan norma-norma, dan satu
solusi terhadap norma-norma yang bertentangan,
beberapa generalis juga mencari satu norma yang tidak dapat dipatahkan.
Beberapa generalis menyodorkan satu
kasus untuk peraturan-peraturan atau norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Beberapa
generalis menawarkan argumen-argumen praktis, agar jangan pernah melanggar satu
peraturan seperti menyelamatkan hidup. Keinginan yang sungguh-sungguh untuk
memiliki norma-norma tingkah laku yang berarti dan tidak dapat dilanggar ialah
satu aspek yang patut dipuji dari etika ini.[30]
Tanggapan generalisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut generalisme mengklaim bahwa berbohong pada umumnya salah. Tidak ada hukum universal. Sebagai satu peraturan, berbohong itu salah, tetapi di
dalam kasus-kasus khusus peraturan yang umum ini dapat dilanggar karena tidak
ada hukum moral universal, maka benar atau tidaknya suatu kebohongan bergantung
pada hasilnya. Sebagian besar penganut generalis percaya bahwa berbohong untuk
menyelamatkan kehidupan itu benar karena dalam kasus ini akhirnya membenarkan
cara yang diperlukan untuk mencapainya, tetapi
berbohong pada umumnya salah.[31]
Absolutisme
Total
Di atas telah menguraikan sistem-sistem etika dalam
kategori: non-absolutisme. Selain kategori
non-absolutisme, diuraikan juga sistem etika kategori absolutisme. Di dalam
penulisan tentang absolutisme, yang pertama dipaparkan tentang absolutisme
total. Absolutisme total[32]
adalah seluruh konflik moral itu hanya
kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat
dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.[33]
Kebenaran adalah hukum, harus selalu
mengatakan kebenaran, meskipun seseorang mungkin akan mati sebagai akibat dari hal
tersebut. Kebenaran adalah mutlak, tidak dapat dilanggar,
tidak ada pengecualian untuk mengatakan yang sebenarnya. Hasil-hasil tidak pernah digunakan sebagai alasan
untuk melanggar peraturan, meskipun hasilnya merupakan hal yang diinginkan.[34]
Bagian
ini juga menjelaskan absolutisme
total Saint Augustine, absolutisme total Kant, absolutisme total
John Murray, dan providensia
Allah.
Absolutisme
Total Saint Augustine
Uskup abad pertengahan Saint Augustine telah
disalah mengerti sebagai seorang situasionis karena pernyataannya bahwa
seseorang harus “mengasihi Allah dan melakukan seperti yang dikehendaki-Nya”.
Augustine mendasari sistem etisnya secara keseluruhan dengan kasih, namun tidak
berarti dia mendasarkan sistem itu hanya pada perintah kasih. Augustine yakin
bahwa kasih mewujudkan kebaikan-kebaikan, tetapi kasih tidak mengusai semuanya.
Kemurahan hati juga merupakan bentuk kebajikan yang lain.[35]
Selain yakin
bahwa kasih dan kemurahan hati yang harus dilakukan, Augustine juga berargumentasi
untuk melawan kebohongan-kebohongan. Augustine mengatakan kebenaran itu adalah
hal yang mutlak, dan hal-hal yang mutlak tidak dapat dilanggar.[36]
Beberapa orang memberikan kesan bahwa berbohong itu diperbolehkan sebagai satu
sarana untuk mendapatkan orang lain ke surga, tetapi Augustine bersikeras bahwa
tidak ada kebaikan yang abadi yang dapat dikerjakan oleh kejahatan yang sementara.
Pengajaran Kristen itu adalah kebenaran dan tidak ada dusta yang harus menjadi
bagian dari pengajarannya.
Absolutisme
Total Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804)
adalah salah seorang pemikir yang paling
berpengaruh di zaman modern. Kant adalah seorang agnostik yang mempelajari tentang
mengetahui realitas pada dirinya, tetapi Kant juga seorang percaya yang saleh
di dalam Allah dan seorang
absolutis moral. Immanuel Kant, percaya bahwa berbohong itu selalu salah.[37]
Siapa
pun yang berkata bohong, walaupun itu demi kebaikan, pasti ada
konsekuensi-konsekuensinya. Sikap jujur di dalam seluruh deklarasi merupakan
perintah sakral yang tidak bersyarat dari sebuah alasan, dan tidak dibatasi
oleh kebijaksanaan manapun.[38]
Absolutisme
Total John Murray
Murray percaya bahwa hukum Allah itu mengikat secara mutlak. Kehendak
Allah merupakan satu refleksi yang berkuasa dari karakter-Nya yang tidak
berubah. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka
demikian pula manusia. Standar moral di dalam Kitab Suci adalah: “Karena itu
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”
(Matius 5:48).
Perintah untuk mengatakan kebenaran berasal dari hukum Allah yang
mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian yang dapat dibuat untuk ini. Murray
menulis, perlunya sifat yang sebenarnya di dalam diri manusia bergantung pada
sifat yang sebenarnya dari Allah. Sama seperti manusia harus kudus karena Allah
itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah
selalu mengatakan yang sebenarnya.”[39]
Providensia
Allah
Dalam pembahasan ini penulis juga menyinggung bahwa di dalam absolutisme
total tersirat ada dasar pikiran yang lain yaitu: providensia Allah.
Orang-orang absolutis total menekankan bahwa di dalam providensia Allah Dia
selalu membuat “satu alternatif ketiga” di dalam setiap dilema moral yang jelas
kelihatan. Satu alternatif ketiga merupakan pilihan yang tepat, karena di dalam
alternatif ini tidak berbohong, tetapi juga tidak menyerahkan diri atau orang
lain untuk dibunuh. Lebih tepatnya ialah menggunakan hikmat dari Tuhan untuk
bertindak supaya tidak berbohong dan tidak menyerahkan diri sendiri atau orang
lain untuk dibunuh. Memang hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, maka itu
harus beriman bahwa Tuhan pasti memberikan perlindungan kepada umat-Nya di
tengah-tengah kesukaran. Di dalam beriman, sebaiknya juga meminta hikmat Tuhan
supaya dapat bertindak tepat tanpa
berbuat dosa, tetapi tetap selamat. Dengan demikian tidak perlu berdusta atau melanggar hukum moral mana pun
untuk menyelamatkan hidup atau melakukan kebaikan moral lainnya.[40]
Tanggapan
Absolutisme Total terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut absolutisme total mengklaim bahwa
berbohong selalu salah. Ada banyak norma yang tidak saling bertentangan,
terdapat banyak norma-norma universal yang tidak pernah secara nyata
berbenturan. Pandangan ini dianut oleh absolutisme yang tak saling bertentangan
(nonconflicting
absolutisme)[41] seperti yang diajarkan oleh Saint Augustine,
mengklaim ada banyak hukum moral yang mutlak, dan tidak satu pun dari mereka
pernah harus rusak.[42]
Absolutisme Konflik
Asumsi
pokok dari sikap etis absolutisme konflik[43] adalah manusia hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan
dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata pasti terjadi. Tetapi dasar pemikiran yang menyertai ialah ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara
moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah
tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan, oleh karena itu dalam
kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang
jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[44]
Latar
Belakang Sejarah dari Absolutisme Konflik
Absolutisme konflik berakar pada dunia Yunani, dan
disesuaikan dengan pemikiran Reformasi dan diekspresikan di dalam eksistensial
modern maupun pemikiran popular. Pandangan ini dapat disebut, pandangan untuk
menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang paling tidak jahat. Konsep
tentang hal-hal yang kurang jahat diberikan dimensi baru oleh doktrin Reformasi
mengenai kerusakan moral, khususnya seperti yang dikembangkan oleh Martin
Luther.[45]
Ada dua hal yang diletakkan di dalam
pemikiran Lutheran yang memberikan pertumbuhan kepada bentuk absolutisme
konflik. Pertama, menjadi teori Luther mengenai dua kerajaan yaitu: orang-orang
Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan
kerajaan dunia ini. Hal ini bertentangan, karena orang Kristen memiliki
tanggung jawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi
konflik-konflik.[46]
Kedua, pernyataan Luther bahwa “berbuat dosa dengan berani” diterima sebagai
suatu penafsiran pemilihan hal yang kurang jahat. Luther menulis: “Jadilah
seorang yang berdosa dan berbuat dosa dengan berani, tetapi yakinlah dengan
lebih berani dan bersukacita di dalam Kristus, yang menang atas dosa, kematian
dan dunia.
Dalam hal di atas Helmut Thielicke
memperhatikan bahwa Kristus menaklukkan dan mengusai bentuk dunia, jadi
kompromi seperti itu perlu. Meskipun dosa itu kadang tidak dapat dielakkan,
tetapi dosa dapat ditaklukkan melalui salib. Di dalam dunia yang sudah jatuh ke
dalam dosa, dosa itu tidak terelakkan, tetapi di dalam dunia yang sudah
ditebus, dosa juga dapat diampuni. Geisler menerangkan lebih lanjut bahwa, konflik-konflik
moral muncul dari fakta bahwa dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dalam dunia
seperti itu, akan ada saat-saat ketika manusia tidak dapat menghindarkan dari
kejahatan.[47]
Prinsip
Dasar dari Absolutisme Konflik
Menurut Norman Geisler, ada empat alasan
dasar di dalam absolutisme konflik. Pertama, hukum Allah itu mutlak dan tidak
dapat dipatahkan. Kedua, di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa
konflik-konflik yang tidak dapat dihindarkan antara perintah-perintah Allah.
Ketiga, ketika konflik-konflik moral terjadi, sebaiknya melakukan hal yang
kurang jahat. Keempat, pengampunan tersedia
bagi orang yang mengakui dosa-dosanya.[48]
Tanggapan Absolutisme
Konflik terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut absolut konflik mengklaim bahwa berbohong dapat dimaafkan. Absolutisme konflik
mengakui bahwa hidup di dunia yang jahat di mana hukum-hukum moral mutlak
kadang-kadang mengalami konflik yang tidak terhindarkan. Pandangan ini dianut oleh teolog Jerman Helmut Thielicke.[49] Absolut
konflik menegaskan bahwa dalam konflik yang tidak dapat dihindarkan
adalah kewajiban moral manusia untuk melakukan kejahatan yang lebih rendah. Dengan
demikian berarti harus melanggar hukum yang lebih rendah dan memohon belas
kasihan.
Misalnya, seseorang harus berbohong demi menyelamatkan nyawa dan kemudian
meminta pengampunan karena melanggar hukum moral absolut Allah.[50] Dilema moral ini kadang-kadang tidak dapat
dihindarkan, tetapi orang yang melakukan tetap bersalah, maka perlu meminta pengampunan
kepada Allah.
Absolutisme Bertingkat
Absolutisme
bertingkat melihat ada suatu hirarki dari kebaikan, bahwa kewajiban-kewajiban
moral kadang bertentangan, dan tidak
bersalah karena menaati kewajiban yang lebih tinggi.
Prinsip-prinsip dasar dari absolutisme bertingkat adalah: ada banyak
prinsip-prinsip moral yang berakar di dalam karakter moral Allah yang mutlak, ada
kewajiban-kewajiban moral yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Contohnya: kasih kepada Allah merupakan satu kewajiban
yang lebih besar daripada kasih kepada manusia; hukum-hukum moral ini kadang
masuk ke dalam konflik moral yang tidak terelakkan; di dalam konflik-konflik
tersebut diwajibkan untuk mengikuti hukum moral yang lebih tinggi. Pada waktu
seseorang mengikuti hukum moral yang lebih tinggi orang tersebut tidak dianggap
bertanggung jawab karena tidak memelihara hukum moral yang lebih rendah.[51]
Mengasihi
Allah Lebih dari Mengasihi Manusia
Perintah untuk “mengasihi”[52]
Allah dan mengasihi sesama manusia, merupakan
perintah yang paling jelas dan mendasar. Mengasihi Allah lebih diutamakan
daripada mengasihi manusia. Secara eksplisit Yesus menyatakan perintah untuk
mengasihi Allah menjadi yang pertama dan terbesar (Mat. 22:36-38). Lebih lanjut
Yesus mengajarkan bahwa kasih seseorang kepada Allah seharusnya harus lebih
besar daripada kasih kepada orang tuanya sehingga kasih kepada orangtua akan
kelihatan seperti membenci (Luk. 14:26). Implikasinya adalah jika orangtua
mengajar seorang anak untuk membenci Allah, anak tersebut harus tidak menaati
orang tua agar dapat menaati Allah.[53]
Menaati
Allah Melebihi Pemerintah
Orang-orang Kristen diperintahkan Allah untuk
menaati pemerintah. Ketika ketidaktaatan kepada pemerintah disetujui Allah, hal
ini dilakukan mengingat hukum moral yang lebih tinggi. Dalam Alkitab
menggambarkan bahwa menyembah Allah itu lebih tinggi dari pemerintah (Dan. 3).
Ketika pemerintah memberi tugas kepada bawahannya untuk melakukan pembunuhan
terhadap korban-korban yang tidak bersalah (Kel.1), pemerintah seharusnya tidak
ditaati. Di dalam setiap kasus kewajiban moral untuk berdoa, menyembah Allah,
memberitakan Injil, dan seterusnya, merupakan satu kewajiban yang lebih tinggi
daripada tugas untuk menaati pemerintah.[54]
Belas
Kasihan Melebihi Kejujuran
Hukum taurat yang kesembilan melarang
berdusta (Kel. 20:16). Penipuan dan dusta berulangkali dihukum di dalam Kitab Suci
(Ams. 12:22, 19:5). Namun sebaliknya, Alkitab menunjukkan bahwa ada
kesempatan-kesempatan ketika berdusta dengan sengaja itu dapat dibenarkan.
Dengan sengaja Rahab menipu untuk menyelamatkan nyawa mata-mata Israel. Tidak
ada bagian Alkitab yang menyalahkan Rahab, karena penipuan yang dilakukannya.
Kebohongan Rahab merupakan satu bagian yang integral dari tindakan belas
kasihan yang diperlihatkan di dalam menyelamatkan nyawa para mata-mata. Selain
itu, Alkitab berkata, “Rahab…akan tetap hidup, karena Rahab telah
menyembunyikan orang suruhan yang kita suruh” (Yos. 6:17). Dengan demikian,
kebohongan merupakan satu bagian yang integral dari imannya untuk mana Rahab
dipuji oleh Allah (Ibr. 11:31; Yak. 2:25).[55]
Tangapan
absolutisme bertingkat terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk
menyelamatkan
Absolutisme bertingkat[56]
mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Terdapat hukum-hukum yang lebih
tinggi. Absolutisme bertingkat menganggap ada banyak hukum moral absolut
dan hukum-hukum itu kadang bertentangan
satu dengan yang lain. Namun, ada beberapa hukum yang
lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, ketika terdapat satu pertentangan
yang tidak dapat dihindarkan, maka kewajibannya adalah menaati hukum moral yang
lebih tinggi. Jadi penganut absolutisme bertingkat mayakinkan bahwa berbohong
demi menyelamatkan kehidupan seseorang adalah benar.[57]
Kerangka
Pemikiran
Berdasarkan uraian di atas jelas
bahwa ada enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme,
situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan
absotisme bertingkat. Penulis lebih cenderung memilih absolutisme
bertingkat. Absolutisme bertingkat mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang
benar. Alasannya adalah beberapa konflik-konflik moral yang secara pribadi
tidak dapat dielakkan, di mana seorang individu tidak dapat menaati kedua
perintah. Sebagian orang mengalami dilema, harus memilih satu pilihan diantara
dua pilihan yaitu: menyelamatkan dan berbohong, atau pilihan kedua, berkata
jujur tetapi tidak menyelamatkan orang dari ancaman kematian. Absolutisme
bertingkat membenarkan, belas kasihan melebihi kejujuran, menaati Allah
melebihi menaati manusia, mengasihi Allah lebih dari mengasihi manusia.
Hal ini berarti orang yang berbohong demi menyelamatkan kehidupan dibenarkan,
dengan catatan berbohong oleh karena benar-benar terjepit atau tidak bisa
terhindarkan, demi menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian. Dalam pandangan
ini dengan keadaan-keadaan tertentu seseorang tidak bersalah karena
mengutamakan kewajiban yang lebih tinggi dari kewajiban yang lebih rendah.
Argumen ini didukung karena Yesus berbicara tentang hal-hal “yang lebih berat”
mengenai hukum taurat (Mat. 23:23), dan mengenai “yang kecil” (Mat. 5:19) dan
perintah “yang paling besar” (Mat. 22:36), Yudas telah melakukan “dosa yang lebih besar” (Yoh. 19:11).
Penulis tidak memilih absolutisme total
karena absolitisme ini menekankan berbohong selalu salah, oleh karena hukum
moral yang mutlak, maka dosa selalu bisa dihindarkan. Kenyataannya manusia
telah berdosa, dan dosa itu tidak bisa dihindarkan. Penulis memilih absolutisme
bertingkat oleh karena Alkitab sendiri membicarakan hal ini, di sinilah penulis
menemukan jalan keluar.
Kerangka Pemikiran
Di
dalam tingkatan-tingkatan kewajiban,
hukum taurat menyatakan bahwa: hukum pertama, manusia mengasihi Allah
dan hukum kedua mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-39), (Mrk. 12:30-31),
(Luk. 10:27-28). Hal ini berarti Yesus menyatakan bahwa perintah untuk
mengasihi Allah menjadi yang “pertama” dan “terbesar.” [58]
Firman
Tuhan mengatakan bahwa: “..semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah” (Rm. 3:23), setiap orang itu berdosa, walaupun orang itu
berusaha sedemikian rupa tetap tidak bisa menghindari dosa. Walaupun ayat ini
sepertinya bertentangan dengan (1 Kor.10:13) yang mengatakan bahwa di dalam
setiap pencobaan selalu ada jalan keluar, namun dalam situsi terdesak sebagian
orang tidak menemui jalan keluar, tetapi justru menemui jalan buntu, sehingga
orang tersebut secara spontan berbohong
demi menyelamatkan. “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel.
20:16), berbohong itu dilarang oleh Allah. Jadi orang yang berbohong itu berdosa
dan upah dosa ialah maut (Rm.6:23a). dalam hal ini harus diingat kembali bahwa
manusia berdosa sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menghindari dosa atau maut
itu. Keselamatan manusia tidak bisa diperoleh melalui usaha sendiri, tetapi
pemberian Allah (Ef. 2:8). Penulis mengakui berbohong demi kebaikan itu tetap
dosa, karena berbohong tidak dapat dibenarkan.
Jadi
semua dosa dapat dihindari melalui
anugerah Allah.
Konflik antara berbagai Kewajiban Moral
Masalah
yang paling mendesak ialah masalah konflik antara berbagai kewajiban moral.
Bila seseorang mengalami dilema dalam prinsip moral, dengan sendirinya salah
satu yang harus dipilih, sebaliknya ada salah satu harus mengalah. Orang tidak
mungkin mengerjakan hal-hal yang berlawanan secara bersamaan. Misalnya,
seseorang yang harus memilih antara berdusta untuk melindungi satu jiwa, atau
mengatakan sebenarnya untuk menunjukkan kepada seorang pembunuh di mana
korbannya bersembunyi.[59]
DAFTAR
PUSTAKA
Augustine,
Saint. On Lying, in Nicene and Post-Nicene
Fathers of the Christian Church,
vol. 3,
ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198.
Berbohong dan
Kebenaran-Telling
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/et hics/lying/lying_1.html
(diunduh 28 Maret 2014).
Browning,W.R.F. Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible. Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor
di Dalamnya. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987.
Cornish, Rick. 5 Menit Teologi. Bandung: Pionir Jaya,
2007.
Fletcher,
Joseph. Situation Ethics: The New
Morality (Philadelphia: Westminster Press,
1974),198.
Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Fu, Timotius.
Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan
Volume 8 Nomor 1. Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, April 2007.
Geisler, Norman L. Etika Kristen, Pilihan dan Isu. Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000.
http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/berbohong-demi.html
(diunduh 6 Maret 2014).
Http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/hatihati.berbohong.putih.ke.bali ta/001/007/681/1/1.html
(diunduh 27 Januari 2014).
http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3 Dnorman%2Blie%2Bto%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke tiga. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Menguak
Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan. http://www.wirantaprawira.de/pakorba/bagian_2.pdf
(diunduh 26 Februari 2014). [1]Museum
Ten Boom, http://tenboom.org/tentang-ten-boom-c708.php (diunduh 19 Maret 2014).
Ringkasan Eksekutif Tim Ad
Hoc Peristiwa 1965-1966, http://tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/Komnas%20HAM%2 01965%20report%20Indonesian.pdf (diunduh 17 Maret
2014).
Sitohang, Samin H. Kasus-kasus
dalam Perjanjian Lama. Bandung: Kalam Hidup, 2005.
Srotosudarmo, R.M.
Drie. Etika Kristen untuk perguruan
Tinggi, Etika Dasar dan Penerapannya
dalam Hidup Praktis Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2007.
Suseno, Magnis dan Franz. Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks
Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Thielicke, Helmut. Theological
Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966), 198.
Tonkelaar, Johan Dirk Alexander. Optimus Ludex: Over Het Belang Van de
Selectie Van Onze Reahters. London: Kluwer, 2001.
Wellem, Federiek Djara. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004.
White, Jerry. Kejujuran Moral dan Hati Nurani.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Teolog Kristen St Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa berbohong itu
selalu salah, tapi menerima bahwa ini akan sangat sulit untuk hidup sampai dan
bahwa pada orang kehidupan
nyata perlu get-out clause.[60]
Absolutisme Total
Alasan dasar dari absolutisme total adalah
bahwa seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi
sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral
yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.
Absolutisme
Konflik
Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik adalah bahwa kita hidup di
dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu
konflik-konflik moral yang nyata memang terjadi. Tetapi dasar pikiran yang
menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik),
secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Dalam kasus-kasus
seperti itu, seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui
dosanya, dan memohon
pengampunan Allah. Bagian ini menjelaskan latar
belakang sejarah, prinsip dasar, kontribusi positif, dan kritik dari
absolutisme konflik.
Dasar pemikiran yang menyertai
adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan, secara moral manusia
bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan
tanpa kesalahan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus
benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon
pengampunan Allah.[61]
Charles Hodge
Hodge berpendapat bahwa pada
waktu seseorang mengebawahkan suatu kewajiban moral yang lebih rendah menjadi
lebih tinggi, berarti tidak berbuat dosa. Hodge yakin untuk
menipu dengan sengaja agar dapat menyelamatkan hidup adalah benar.
Corrie Ten Boom menceritakan bagaimana
dia berbohong untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kamp-kamp kematian Nazi.
Apakah pernah tepat untuk berbohong
untuk menyelamatkan kehidupan? Masalah ini akan berfungsi untuk memfokuskan perbedaan antara
enam sistem etika dasar.
Aspek-aspek positif dari Absolutisme Total
Absolutisme total memiliki banyak
pujian sebagai satu etika Kristen. Pandangan ini didasarkan pada karakter Allah
yang tidak berubah, naturnya adalah deontological, pandangan ini mempunyai
kepercayaan di dalam providensia Allah dan memegang kepercayaan bahwa selalu ada
jalan untuk menghindarkan perbuatan dosa.
Aspek-aspek Negatif dari Absolutisme
Total
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 34.
[33]Saint
Augustine, On Lying, in Nicene and
Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol. 3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm.
B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak?
Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).
[42]Saint
Augustine, On Lying, in Nicene and
Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol. 3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm.
B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak?
Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).
BAB
2
TINJAUAN ETIKA
KRISTEN
BERBOHONG
DEMI KEBAIKAN
Dalam bab kedua ini penulis akan memaparkan mengenai
definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan, tujuan berbohong demi
kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan tinjauan etika secara umum tentang pemahaman berbohong demi kebaikan.
Tinjauan etika secara umum yang penulis paparkan terdapat dalam enam sistem
etika dasar, yaitu: antinomianisme,
situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme
bertingkat.
Definisi Berbohong secara Umum
Definisi umum kebohongan
adalah suatu ketidaksesuaian yang disadari antara pikiran dan perkataan, tidak
memadai sama sekali. Kebohongan adalah penolakan, penyangkalan, dan perusakan
yang disadari dan disengaja atas realitas yang diciptakan Allah dan yang berada
di dalam Allah, tidak peduli apakah tujuan ini dicapai melalui perkataan atau
melalui diam.[1] Menurut
Saint Augustine, setiap pembohong mengatakan
kebalikan dari apa yang ada di dalam pikiran atau di dalam
hatinya, dengan tujuan untuk menipu. Dusta adalah
suatu pemalsuan yang disengaja.[2]
Kebohongan juga disebut
kepalsuan, adalah jenis
penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk
menipu orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia
atau reputasi, menolong
orang lain, melindungi diri sendiri, mencari keuntungan, atau untuk
menghindari hukuman atau tolakan untuk satu tindakan. Berbohong adalah
menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar. Seorang pembohong adalah orang yang berbohong, yang
sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung oleh alam untuk berbohong
berulang kali -- bahkan ketika
tidak diperlukan.
Kebohongan merupakan suatu ‘penyakit
kronis’ yang mengakar dalam diri manusia setiap ia melakukannya. Dengan begitu,
kebiasaan berbohong itu dapat dilakukan secara terus menerus dan
bertumpuk-tumpuk sehingga berubah menjadi kebohongan yang nyata. Kebohongannya mengarahkan
kepada hal yang merugikan, bahkan membuat diri si pembohong tidak lagi merasa
bahwa dirinya telah berbohong.[3]
Definisi Berbohong Demi Kebaikan
Berbohong demi kebaikan adalah mengatakan dengan tidak sebenarnya demi
kebaikan diri sendiri atau orang lain. Berbohong demi kebaikan merupakan suatu
inisiatif yang semata-mata untuk menolong seseorang atau diri sendiri dari hal
yang buruk yang akan menimpanya. Dalam hal ini orang tersebut tidak menemui alternatif lain, kecuali dengan cara
berbohong. Berbohong demi kebaikan memiliki beberapa tujuan diantaranya yaitu:
menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar,
dan membela yang tidak bersalah.
Tujuan Berbohong Demi Kebaikan
Seseorang yang berbohong demi kebaikan tentu
memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya. Dalam hal ini pasti menurut
pandangan umum diperbolehkan. Tujuannya
antara lain ialah: untuk menyelamatkan dari ancaman kematian, menerapkan kasih
yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Menyelamatkan dari Ancaman Kematian
Seperti
yang telah dipaparkan di latar belakang masalah bahwa kasus Hadiwijaya, Corrie
ten Boom, dan Lioyd Bucer, berbohong
dengan tujuan menyelamatkan orang dari situasi yang sulit. Berbohong
demi menyelamatkan termasuk berbohong demi kebaikan, karena menyelamatkan
seseorang berarti mencegah pembunuhan. Demikian juga di dalam Firman Allah yang
mengatakan “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Seharusnya setiap orang mematuhi
perintah Firman Allah yang melarang untuk membunuh. Begitu juga membiarkan orang untuk dibunuh
dengan tanpa usaha untuk menyelamatkan nyawa dari ancaman
kematian,
berarti tidak memeliki belas kasihan, maka
sebaiknya orang berusaha mencegah pembunuhan tersebut dengan cara menyelamatkannya.
Kasih yang Lebih Besar
Selain berbohong dengan tujuan menyelamatkan, seseorang
berbohong dengan tujuan untuk menunjukkan kasih yang lebih besar kepada sesama
manusia. Seseorang dapat menunjukkan kasih yang lebih besar ketika berusaha
menyelamatkan nyawa manusia dibandingkan mengatakan yang sesungguhnya, sehingga
orang lain dibiarkan untuk dibunuh. Seseorang dapat menunjukkan kasih kepada
sesama manusia dengan cara menolong
orang lain dalam keadaan terjepit. Jika tidak segera ditolong
kemungkinan orang lain itu akan mati. Kalau tidak melakukan apapun untuk
menolong orang yang dalam keadaan terjepit sehingga orang lain itu mati,
berarti tidak menunjukkan sikap yang mengasihi sesama manusia. Sedangkan
mengasihi sesama manusia adalah perintah Allah (Mat. 22:39). Mengasihi sesama
itu baik (Gal. 6:9) dan bertindak murah hati juga baik (Kis. 2:44-45), sebab
semua timbul dari kasih Allah (1Yoh. 5:2).[4]
Jika tidak menunjukkan bagaimana mengasihi sesama manusia, berarti melanggar
perintah Allah.
Membela yang Tidak Bersalah
Usaha untuk menyelamatkan orang yang
tidak melakukan kejahatan yang semestinya akan dimusnahkan oleh sesama manusia,
merupakan suatu kebenaran. Orang yang tidak melakukan kesalahan yang sangat
fatal, sehingga harus menerima hukuman yang tidak layak, seharusnya patut
menerima pembelaan. Dalam rangka
menyelamatkan orang-orang tersebut, walaupun dengan cara berbohong,
dapat disebut juga sebagai pembelaan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi
tujuan berbohong di sini ialah untuk membela yang tidak bersalah.
Alasan Orang Melakukan Berbohong
Demi Kebaikan
Sebagian orang beranggapan bahwa berbohong akan
mengakibatkan hasil yang lebih baik daripada mengatakan yang sebenarnya, maka
orang akan berpendapat bahwa lebih baik untuk berbohong. Sebagian orang lagi mengatakan bahwa sesuatu
yang mengerikan akan terjadi jika tidak berbohong. Hasilnya jauh lebih
baik ketika berbohong daripada berkata jujur. Kebohongan tersebut untuk melindungi orang-orang yang tidak
bersalah yang dinyatakan akan menderita ketidakadilan. Anggapan umum berbohong
demi kebaikan itu dapat dibenarkan. Kebohongan yang dilakukan dalam
keadaan darurat, pembenaran lain adalah bahwa orang berbohong, karena belum
sempat untuk memikirkan kegiatan pemilihan. Dalam hal ini memilih untuk berbohong atau jujur, kebohongan itu muncul
secara spontan demi melindungi diri sendiri atau orang lain dalam keadaan terdesak.[5]
Selain
dalam keadaan terdesak atau darurat, situasi
yang mengancam juga dapat terjadi dalam situasi ancaman jangka panjang, ketika
berbohong akan memberikan seseorang kesempatan lebih besar untuk bertahan
hidup.
Dalam Gulag atau di kamp konsentrasi tahanan bisa mendapatkan keuntungan dengan
berbohong tentang kemampuan, perilaku sesama tahanan, makanan, dan sebagainya. Dalam kondisi
kelaparan,
berbohong dengan mengatakan tidak memiliki makanan
tersembunyi, mungkin penting untuk
kelangsungan hidup keluarga.
Tinjauan
Etika Secara Umum Tentang Pemahaman
Berbohong
demi Kebaikan
Di latar belakang
masalah sudah dipaparkan bahwa, Corrie Ten Boom, Hadiwijaya,
dan
Lioyd Bucer berbohong demi kebaikan yaitu berbohong untuk menyelamatkan
kehidupan.
Orang-orang
tersebut berbohong karena
diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik. Oleh karena masalah yang sangat pelik, maka penulis mencoba mencocokkan dengan enam sistem etika dasar.
Pada
umumnya, sistem-sistem etika masuk ke dalam dua kategori: nonabsolutisme dan absolutisme. Dalam kategori
nonabsolutisme, ada antinomianisme, situasionisme, dan generalisme. Dalam kategori absolutisme, ada absolutisme total, absolutisme
konflik, dan absolutisme bertingkat.
Antinomianisme
Sistem
etika dalam kategori: nonabsolutisme yang
pertama ialah Antinomianisme.
Antinomianisme secara harafiah berarti “menentang atau sebagai pengganti hukum,” menganggap bahwa tidak ada hukum-hukum moral yang mengikat, segala sesuatu itu bersifat relatif. Penganut antinomian
sangat menekankan nilai individu di dalam membuat keputusan-keputusan etis.[6]
Sejarah
Singkat Antinomianisme
Setiap sistem etika yang terbentuk pasti
memiliki sejarah yang tidak mungkin terlupakan. Demikian juga dengan antinomianisme etis memiliki sejarah
panjang. Penulis tidak menguraikan sejarah antinomianisme yang begitu panjang,
tetapi hanya menguraikan sedikitnya ada
tiga gerakan dalam dunia kuno yang mempengaruhi bangkitnya antinomianisme yaitu: prosesisme,
hedonisme dan skeptisisme.[7]
Prosesisme
Dalam prosesnya terbentuknya sistem etika antinomianisme, seorang filsuf Yunani
Kuno Heraclitus percaya segala sesuatu di dunia ini ada di dalam keadaan yang
selalu berubah terus-menerus. Heraclitus berkata, “tidak ada orang yang
menginjak ke dalam air sungai yang sama dua kali, karena air yang terus
mengalir.” Hal ini jika diterapkan pada bidang etika, tidak ada hukum-hukum
moral yang tetap ada. Setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi.[8]
Hedonisme
Dalam prosesisme menyatakan bahwa setiap
nilai etis akan berubah seiring dengan situasi yang ada. Hal ini berbeda dengan
hedonisme. Penganut Epicurean kuno memberikan dorongan pada etika relativitas,
yang membuat kenikmatan sebagai esensi
kebaikan dan rasa sakit sebagai esensi kejahatan, yang dikenal sebagai hedonisme.
Kata hedon berasal dari bahasa Yunani yang berarti kenikmatan.[9]
Kenikmatan relatif bagi orang, tempat dan zaman. Tinggal di desa merupakan hal
yang menyenangkan bagi beberapa orang, tetapi sebagian orang merupakan
penderitaan belaka. Dengan demikian pandangan ini menyatakan bahwa apa yang
secara moral baik bagi seseorang mungkin jahat bagi orang lain.
Skeptisisme
Selain prosesisme, hedonisme, ada
juga skeptisisme yang mempengaruhi bangkitnya Antinomianisme. Orang skeptis menekankan
bahwa setiap masalah memiliki dua sisi (salah atau benar) dan setiap pertanyaan
dapat dibantah terus menerus. Dalam hal ini berarti tidak ada kesimpulan yang
kuat dan final yang dapat ditarik. Dengan demikian etika ini menyatakan bahwa
tidak ada yang akan dianggap benar atau salah secara mutlak.[10]
Tanggapan Antinomianisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Antinomianisme[11]
mengklaim bahwa berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah tidak benar atau salah. Tidak ada hukum. Hal ini
menegaskan bahwa tidak ada prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keadaan
sebenarnya, di mana masalah tersebut dapat dinilai benar atau salah.
Masalah ini harus diputuskan di atas dasar pandangan perasaan sendiri, personal
atau bersifat praktis dan berguna bagi umum, tetapi tidak di atas dasar moral
yang sesuai keadaan sebenarnya. Dalam memutuskan masalah tersebut benar-benar
tanpa sebuah hukum moral.[12]
Situasionisme
Sistem etika non-absolutisme yang
kedua, ialah situasionisme. Situasionisme berpihak pada satu norma
yang tidak bisa dipatahkan. Norma itu adalah hukum kasih. Posisinya bukan pandangan
yang terbatas tanpa hukum yang
berkata tidak ada hukum apapun, demikian pula bukan absolutisme total yang
mempunyai hukum untuk segala sesuatu. Posisinya
ada pada satu hukum untuk segala sesuatu, yaitu hukum kasih.[13]
Empat
Prinsip Situasionisme
Menurut Fletcher, ada empat prinsip
situasionisme yang dipergunakan yaitu: pragmatisme, relativisme, positivisme
dan personalisme. Dengan adanya empat prinsip situsionalisme bukan bermaksud
bahwa harus menyimpulkan situasionisme itu benar-benar bersifat relatif dan nonnormatif.
Dalam hal ini diartikan bahwa di dalam kerangka norma kasih yang absolute ini,
segala sesuatu yang lain bersifat pragmatis, relativistis, positivis, dan
personalistis.[14]
Pragmatisme
Pendapat Fletcher terhadap
pendekatan pragmatisme ialah: “Yang benar hanya dikaitkan dengan cara kita”.
Hal itu merupakan, apa yang berguna atau
apa yang memuaskan, memiliki tujuan yaitu, demi tercapainya kasih. Fletcher ingin
supaya kasih dapat diwujudkan dan membawa hasil. Pendekatan ini mencari
jawaban-jawaban yang konkret dan praktis.[15]
Relativisme
Di dalam relativisme menyatakan
bahwa hanya ada satu yang absolut; segala sesuatu yang lain bersifat relatif
untuknya. Harus ada satu yang mutlak untuk mendapatkan relativitas yang benar.
Hanya satu yang mutlak yaitu kasih. Di dalam situasionisme, Kristen tolok
ukurnya adalah kasih agape. Orang-orang Kristen harus dengan konstan
mengingatkan dirinya sendiri bahwa segala sesuatu yang lain relatif untuk
mengacu kepada kasih.[16]
Positivisme
Positivisme[17]
menganggap bahwa nilai-nilai didasarkan pada kehendak bebas, bukan secara
rasional. Emotivisme berbicara tentang nilai-nilai moral yang dipikirkan
sebagai ungkapan-ungkapan perasaan seseorang daripada ketentuan untuk hidup
seseorang. Etika positivistis atau emotif menempatkan seni dan moral di dalam kelompok
yang sama, keduanya menghendaki satu keputusan atau lompatan iman.
Pernyataan-pernyataan etis tidak mencari pembuktian; tetapi mencari pembenaran.
Hanya satu di dalam satu norma yaitu kasih Kristen.[18]
Personalisme
Hanya
manusia yang memiliki nilai pada dirinya. Nilai benda hanya bergantung pada
“keadaan”. Nilai benda-benda ditentukan oleh keterkaitannya dengan manusia.
Menurut Fletcher,[19]
menganggap bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai intrinsik apa yang
dimaksudkan Kant bagaimana memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan
tidak pernah sebagai alat. Demikian arti kasih yaitu menghubungkan segala
sesuatu pada kebaikan manusia.
Hubungan antara pragmatisme,
relatisme, Positivisme, dan Personalisme
Hubungan
empat prinsip situasionisme adalah situasionalisme etika dengan strategi
pragmatis, taktik yang relativisme, sikap yang positivistis dan pemusatan nilai
personalistis. Hal ini adalah satu etika dengan satu kemutlakan di mana segala
sesuatu yang lain relatif. “Tujuan yang ingin dicapai bersifat pragmatis demi
melakukan apa yang baik bagi seseorang.”[20]
Tanggapan situasionisme terhadap
berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut situasionisme[21] mengklaim
bahwa berbohong kadang-kadang benar. Hanya ada satu hukum universal[22] situationisme, seperti yang dimiliki oleh Joseph Fletcher,
mengklaim hanya ada satu hukum moral mutlak[23]
yaitu kasih. Kasih adalah
satu-satunya yang mutlak, dan
berbohong mungkin dapat dilakukan untuk mengasihi.
Bahkan, berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah hal yang dapat dilakukan dengan penuh kasih. Oleh
karena itu, berbohong kadang-kadang benar. Setiap hukum moral kecuali kasih dapat dan harus dilanggar demi
kasih. [24]
Segala sesuatu yang lain adalah relatif, hanya satu hal yang absolut. Jadi
penganut situasionis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan hidup secara
moral dibenarkan.
Generalisme
Penganut
generalisme,[25] percaya pada nilai dari hukum-hukum etis untuk membantu
individu-individu menentukan tindakan yang mana yang mungkin membawa kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak dari manusia. Penganut
generalisme bukanlah orang-orang
absolutis, karena biasanya menolak bahwa
secara umum ada norma-norma etis yang mengikat, yang mewakili
nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Beberapa
Nilai Generalisme
Tiga nilai yang berhubungan dengan pendekatan
normatif terhadap etika-etika seperti
yang diambil oleh orang-orang Kristen. Pertama, generalisme merefleksikan satu
kebutuhan akan norma-norma. Kedua, pandangan ini menawarkan satu solusi yang
mungkin ke dalam norma-norma yang bertentangan. Ketiga, norma-norma yang tidak
bisa dipatahkan.[26]
Kebutuhan akan Norma-norma
Generalisme mengakui kebutuhan akan
norma-norma yaitu untuk mencapai tujuannya.[27] Tanpa
norma-norma atau dasar-dasar normatif lainnya yang diambil dari pengalaman manusia, tidak ada cara untuk
menentukan hasil-hasil jangka panjang dari tindakan-tindakan seseorang. Tujuannya
ialah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang diketahui untuk membuahkan
hasil-hasil yang baik.
Satu Solusi Terhadap Norma-norma yang Bertentangan
Untuk memperoleh solusi terhadap norma-norma
yang bertentangan, Generalisme menawarkan satu solusi terhadap problema tentang
apa yang dilakukan ketika ada satu konflik kewajiban, seperti konflik antara mengatakan
sebenarnya atau menyelamatkan hidup. Dalam hal ini, berbohong itu pada umumnya
salah. Hanya ada satu tujuan yang mutlak yaitu “kebaikan besar”. Seluruh
cara-cara atau peraturan-peratuaran, norma-norma itu relatif untuk tujuan kebaikan lebih besar.[28] Jika
berbohong di dalam satu situasi akan menjadi lebih bermanfaat atau membantu
bagi sebagian besar manusia, maka seseorang harus berbohong.[29]
Satu norma yang tidak dapat dipatahkan
Selain akan kebutuhan norma-norma, dan satu
solusi terhadap norma-norma yang bertentangan,
beberapa generalis juga mencari satu norma yang tidak dapat dipatahkan.
Beberapa generalis menyodorkan satu
kasus untuk peraturan-peraturan atau norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Beberapa
generalis menawarkan argumen-argumen praktis, agar jangan pernah melanggar satu
peraturan seperti menyelamatkan hidup. Keinginan yang sungguh-sungguh untuk
memiliki norma-norma tingkah laku yang berarti dan tidak dapat dilanggar ialah
satu aspek yang patut dipuji dari etika ini.[30]
Tanggapan generalisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut generalisme mengklaim bahwa berbohong pada umumnya salah. Tidak ada hukum universal. Sebagai satu peraturan, berbohong itu salah, tetapi di
dalam kasus-kasus khusus peraturan yang umum ini dapat dilanggar karena tidak
ada hukum moral universal, maka benar atau tidaknya suatu kebohongan bergantung
pada hasilnya. Sebagian besar penganut generalis percaya bahwa berbohong untuk
menyelamatkan kehidupan itu benar karena dalam kasus ini akhirnya membenarkan
cara yang diperlukan untuk mencapainya, tetapi
berbohong pada umumnya salah.[31]
Absolutisme
Total
Di atas telah menguraikan sistem-sistem etika dalam
kategori: non-absolutisme. Selain kategori
non-absolutisme, diuraikan juga sistem etika kategori absolutisme. Di dalam
penulisan tentang absolutisme, yang pertama dipaparkan tentang absolutisme
total. Absolutisme total[32]
adalah seluruh konflik moral itu hanya
kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat
dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.[33]
Kebenaran adalah hukum, harus selalu
mengatakan kebenaran, meskipun seseorang mungkin akan mati sebagai akibat dari hal
tersebut. Kebenaran adalah mutlak, tidak dapat dilanggar,
tidak ada pengecualian untuk mengatakan yang sebenarnya. Hasil-hasil tidak pernah digunakan sebagai alasan
untuk melanggar peraturan, meskipun hasilnya merupakan hal yang diinginkan.[34]
Bagian
ini juga menjelaskan absolutisme
total Saint Augustine, absolutisme total Kant, absolutisme total
John Murray, dan providensia
Allah.
Absolutisme
Total Saint Augustine
Uskup abad pertengahan Saint Augustine telah
disalah mengerti sebagai seorang situasionis karena pernyataannya bahwa
seseorang harus “mengasihi Allah dan melakukan seperti yang dikehendaki-Nya”.
Augustine mendasari sistem etisnya secara keseluruhan dengan kasih, namun tidak
berarti dia mendasarkan sistem itu hanya pada perintah kasih. Augustine yakin
bahwa kasih mewujudkan kebaikan-kebaikan, tetapi kasih tidak mengusai semuanya.
Kemurahan hati juga merupakan bentuk kebajikan yang lain.[35]
Selain yakin
bahwa kasih dan kemurahan hati yang harus dilakukan, Augustine juga berargumentasi
untuk melawan kebohongan-kebohongan. Augustine mengatakan kebenaran itu adalah
hal yang mutlak, dan hal-hal yang mutlak tidak dapat dilanggar.[36]
Beberapa orang memberikan kesan bahwa berbohong itu diperbolehkan sebagai satu
sarana untuk mendapatkan orang lain ke surga, tetapi Augustine bersikeras bahwa
tidak ada kebaikan yang abadi yang dapat dikerjakan oleh kejahatan yang sementara.
Pengajaran Kristen itu adalah kebenaran dan tidak ada dusta yang harus menjadi
bagian dari pengajarannya.
Absolutisme
Total Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804)
adalah salah seorang pemikir yang paling
berpengaruh di zaman modern. Kant adalah seorang agnostik yang mempelajari tentang
mengetahui realitas pada dirinya, tetapi Kant juga seorang percaya yang saleh
di dalam Allah dan seorang
absolutis moral. Immanuel Kant, percaya bahwa berbohong itu selalu salah.[37]
Siapa
pun yang berkata bohong, walaupun itu demi kebaikan, pasti ada
konsekuensi-konsekuensinya. Sikap jujur di dalam seluruh deklarasi merupakan
perintah sakral yang tidak bersyarat dari sebuah alasan, dan tidak dibatasi
oleh kebijaksanaan manapun.[38]
Absolutisme
Total John Murray
Murray percaya bahwa hukum Allah itu mengikat secara mutlak. Kehendak
Allah merupakan satu refleksi yang berkuasa dari karakter-Nya yang tidak
berubah. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka
demikian pula manusia. Standar moral di dalam Kitab Suci adalah: “Karena itu
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”
(Matius 5:48).
Perintah untuk mengatakan kebenaran berasal dari hukum Allah yang
mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian yang dapat dibuat untuk ini. Murray
menulis, perlunya sifat yang sebenarnya di dalam diri manusia bergantung pada
sifat yang sebenarnya dari Allah. Sama seperti manusia harus kudus karena Allah
itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah
selalu mengatakan yang sebenarnya.”[39]
Providensia
Allah
Dalam pembahasan ini penulis juga menyinggung bahwa di dalam absolutisme
total tersirat ada dasar pikiran yang lain yaitu: providensia Allah.
Orang-orang absolutis total menekankan bahwa di dalam providensia Allah Dia
selalu membuat “satu alternatif ketiga” di dalam setiap dilema moral yang jelas
kelihatan. Satu alternatif ketiga merupakan pilihan yang tepat, karena di dalam
alternatif ini tidak berbohong, tetapi juga tidak menyerahkan diri atau orang
lain untuk dibunuh. Lebih tepatnya ialah menggunakan hikmat dari Tuhan untuk
bertindak supaya tidak berbohong dan tidak menyerahkan diri sendiri atau orang
lain untuk dibunuh. Memang hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, maka itu
harus beriman bahwa Tuhan pasti memberikan perlindungan kepada umat-Nya di
tengah-tengah kesukaran. Di dalam beriman, sebaiknya juga meminta hikmat Tuhan
supaya dapat bertindak tepat tanpa
berbuat dosa, tetapi tetap selamat. Dengan demikian tidak perlu berdusta atau melanggar hukum moral mana pun
untuk menyelamatkan hidup atau melakukan kebaikan moral lainnya.[40]
Tanggapan
Absolutisme Total terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut absolutisme total mengklaim bahwa
berbohong selalu salah. Ada banyak norma yang tidak saling bertentangan,
terdapat banyak norma-norma universal yang tidak pernah secara nyata
berbenturan. Pandangan ini dianut oleh absolutisme yang tak saling bertentangan
(nonconflicting
absolutisme)[41] seperti yang diajarkan oleh Saint Augustine,
mengklaim ada banyak hukum moral yang mutlak, dan tidak satu pun dari mereka
pernah harus rusak.[42]
Absolutisme Konflik
Asumsi
pokok dari sikap etis absolutisme konflik[43] adalah manusia hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan
dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata pasti terjadi. Tetapi dasar pemikiran yang menyertai ialah ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara
moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah
tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan, oleh karena itu dalam
kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang
jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[44]
Latar
Belakang Sejarah dari Absolutisme Konflik
Absolutisme konflik berakar pada dunia Yunani, dan
disesuaikan dengan pemikiran Reformasi dan diekspresikan di dalam eksistensial
modern maupun pemikiran popular. Pandangan ini dapat disebut, pandangan untuk
menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang paling tidak jahat. Konsep
tentang hal-hal yang kurang jahat diberikan dimensi baru oleh doktrin Reformasi
mengenai kerusakan moral, khususnya seperti yang dikembangkan oleh Martin
Luther.[45]
Ada dua hal yang diletakkan di dalam
pemikiran Lutheran yang memberikan pertumbuhan kepada bentuk absolutisme
konflik. Pertama, menjadi teori Luther mengenai dua kerajaan yaitu: orang-orang
Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan
kerajaan dunia ini. Hal ini bertentangan, karena orang Kristen memiliki
tanggung jawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi
konflik-konflik.[46]
Kedua, pernyataan Luther bahwa “berbuat dosa dengan berani” diterima sebagai
suatu penafsiran pemilihan hal yang kurang jahat. Luther menulis: “Jadilah
seorang yang berdosa dan berbuat dosa dengan berani, tetapi yakinlah dengan
lebih berani dan bersukacita di dalam Kristus, yang menang atas dosa, kematian
dan dunia.
Dalam hal di atas Helmut Thielicke
memperhatikan bahwa Kristus menaklukkan dan mengusai bentuk dunia, jadi
kompromi seperti itu perlu. Meskipun dosa itu kadang tidak dapat dielakkan,
tetapi dosa dapat ditaklukkan melalui salib. Di dalam dunia yang sudah jatuh ke
dalam dosa, dosa itu tidak terelakkan, tetapi di dalam dunia yang sudah
ditebus, dosa juga dapat diampuni. Geisler menerangkan lebih lanjut bahwa, konflik-konflik
moral muncul dari fakta bahwa dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dalam dunia
seperti itu, akan ada saat-saat ketika manusia tidak dapat menghindarkan dari
kejahatan.[47]
Prinsip
Dasar dari Absolutisme Konflik
Menurut Norman Geisler, ada empat alasan
dasar di dalam absolutisme konflik. Pertama, hukum Allah itu mutlak dan tidak
dapat dipatahkan. Kedua, di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa
konflik-konflik yang tidak dapat dihindarkan antara perintah-perintah Allah.
Ketiga, ketika konflik-konflik moral terjadi, sebaiknya melakukan hal yang
kurang jahat. Keempat, pengampunan tersedia
bagi orang yang mengakui dosa-dosanya.[48]
Tanggapan Absolutisme
Konflik terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
Penganut absolut konflik mengklaim bahwa berbohong dapat dimaafkan. Absolutisme konflik
mengakui bahwa hidup di dunia yang jahat di mana hukum-hukum moral mutlak
kadang-kadang mengalami konflik yang tidak terhindarkan. Pandangan ini dianut oleh teolog Jerman Helmut Thielicke.[49] Absolut
konflik menegaskan bahwa dalam konflik yang tidak dapat dihindarkan
adalah kewajiban moral manusia untuk melakukan kejahatan yang lebih rendah. Dengan
demikian berarti harus melanggar hukum yang lebih rendah dan memohon belas
kasihan.
Misalnya, seseorang harus berbohong demi menyelamatkan nyawa dan kemudian
meminta pengampunan karena melanggar hukum moral absolut Allah.[50] Dilema moral ini kadang-kadang tidak dapat
dihindarkan, tetapi orang yang melakukan tetap bersalah, maka perlu meminta pengampunan
kepada Allah.
Absolutisme Bertingkat
Absolutisme
bertingkat melihat ada suatu hirarki dari kebaikan, bahwa kewajiban-kewajiban
moral kadang bertentangan, dan tidak
bersalah karena menaati kewajiban yang lebih tinggi.
Prinsip-prinsip dasar dari absolutisme bertingkat adalah: ada banyak
prinsip-prinsip moral yang berakar di dalam karakter moral Allah yang mutlak, ada
kewajiban-kewajiban moral yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Contohnya: kasih kepada Allah merupakan satu kewajiban
yang lebih besar daripada kasih kepada manusia; hukum-hukum moral ini kadang
masuk ke dalam konflik moral yang tidak terelakkan; di dalam konflik-konflik
tersebut diwajibkan untuk mengikuti hukum moral yang lebih tinggi. Pada waktu
seseorang mengikuti hukum moral yang lebih tinggi orang tersebut tidak dianggap
bertanggung jawab karena tidak memelihara hukum moral yang lebih rendah.[51]
Mengasihi
Allah Lebih dari Mengasihi Manusia
Perintah untuk “mengasihi”[52]
Allah dan mengasihi sesama manusia, merupakan
perintah yang paling jelas dan mendasar. Mengasihi Allah lebih diutamakan
daripada mengasihi manusia. Secara eksplisit Yesus menyatakan perintah untuk
mengasihi Allah menjadi yang pertama dan terbesar (Mat. 22:36-38). Lebih lanjut
Yesus mengajarkan bahwa kasih seseorang kepada Allah seharusnya harus lebih
besar daripada kasih kepada orang tuanya sehingga kasih kepada orangtua akan
kelihatan seperti membenci (Luk. 14:26). Implikasinya adalah jika orangtua
mengajar seorang anak untuk membenci Allah, anak tersebut harus tidak menaati
orang tua agar dapat menaati Allah.[53]
Menaati
Allah Melebihi Pemerintah
Orang-orang Kristen diperintahkan Allah untuk
menaati pemerintah. Ketika ketidaktaatan kepada pemerintah disetujui Allah, hal
ini dilakukan mengingat hukum moral yang lebih tinggi. Dalam Alkitab
menggambarkan bahwa menyembah Allah itu lebih tinggi dari pemerintah (Dan. 3).
Ketika pemerintah memberi tugas kepada bawahannya untuk melakukan pembunuhan
terhadap korban-korban yang tidak bersalah (Kel.1), pemerintah seharusnya tidak
ditaati. Di dalam setiap kasus kewajiban moral untuk berdoa, menyembah Allah,
memberitakan Injil, dan seterusnya, merupakan satu kewajiban yang lebih tinggi
daripada tugas untuk menaati pemerintah.[54]
Belas
Kasihan Melebihi Kejujuran
Hukum taurat yang kesembilan melarang
berdusta (Kel. 20:16). Penipuan dan dusta berulangkali dihukum di dalam Kitab Suci
(Ams. 12:22, 19:5). Namun sebaliknya, Alkitab menunjukkan bahwa ada
kesempatan-kesempatan ketika berdusta dengan sengaja itu dapat dibenarkan.
Dengan sengaja Rahab menipu untuk menyelamatkan nyawa mata-mata Israel. Tidak
ada bagian Alkitab yang menyalahkan Rahab, karena penipuan yang dilakukannya.
Kebohongan Rahab merupakan satu bagian yang integral dari tindakan belas
kasihan yang diperlihatkan di dalam menyelamatkan nyawa para mata-mata. Selain
itu, Alkitab berkata, “Rahab…akan tetap hidup, karena Rahab telah
menyembunyikan orang suruhan yang kita suruh” (Yos. 6:17). Dengan demikian,
kebohongan merupakan satu bagian yang integral dari imannya untuk mana Rahab
dipuji oleh Allah (Ibr. 11:31; Yak. 2:25).[55]
Tangapan
absolutisme bertingkat terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk
menyelamatkan
Absolutisme bertingkat[56]
mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Terdapat hukum-hukum yang lebih
tinggi. Absolutisme bertingkat menganggap ada banyak hukum moral absolut
dan hukum-hukum itu kadang bertentangan
satu dengan yang lain. Namun, ada beberapa hukum yang
lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, ketika terdapat satu pertentangan
yang tidak dapat dihindarkan, maka kewajibannya adalah menaati hukum moral yang
lebih tinggi. Jadi penganut absolutisme bertingkat mayakinkan bahwa berbohong
demi menyelamatkan kehidupan seseorang adalah benar.[57]
Kerangka
Pemikiran
Berdasarkan uraian di atas jelas
bahwa ada enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme,
situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan
absotisme bertingkat. Penulis lebih cenderung memilih absolutisme
bertingkat. Absolutisme bertingkat mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang
benar. Alasannya adalah beberapa konflik-konflik moral yang secara pribadi
tidak dapat dielakkan, di mana seorang individu tidak dapat menaati kedua
perintah. Sebagian orang mengalami dilema, harus memilih satu pilihan diantara
dua pilihan yaitu: menyelamatkan dan berbohong, atau pilihan kedua, berkata
jujur tetapi tidak menyelamatkan orang dari ancaman kematian. Absolutisme
bertingkat membenarkan, belas kasihan melebihi kejujuran, menaati Allah
melebihi menaati manusia, mengasihi Allah lebih dari mengasihi manusia.
Hal ini berarti orang yang berbohong demi menyelamatkan kehidupan dibenarkan,
dengan catatan berbohong oleh karena benar-benar terjepit atau tidak bisa
terhindarkan, demi menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian. Dalam pandangan
ini dengan keadaan-keadaan tertentu seseorang tidak bersalah karena
mengutamakan kewajiban yang lebih tinggi dari kewajiban yang lebih rendah.
Argumen ini didukung karena Yesus berbicara tentang hal-hal “yang lebih berat”
mengenai hukum taurat (Mat. 23:23), dan mengenai “yang kecil” (Mat. 5:19) dan
perintah “yang paling besar” (Mat. 22:36), Yudas telah melakukan “dosa yang lebih besar” (Yoh. 19:11).
Penulis tidak memilih absolutisme total
karena absolitisme ini menekankan berbohong selalu salah, oleh karena hukum
moral yang mutlak, maka dosa selalu bisa dihindarkan. Kenyataannya manusia
telah berdosa, dan dosa itu tidak bisa dihindarkan. Penulis memilih absolutisme
bertingkat oleh karena Alkitab sendiri membicarakan hal ini, di sinilah penulis
menemukan jalan keluar.
Kerangka Pemikiran
Di
dalam tingkatan-tingkatan kewajiban,
hukum taurat menyatakan bahwa: hukum pertama, manusia mengasihi Allah
dan hukum kedua mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-39), (Mrk. 12:30-31),
(Luk. 10:27-28). Hal ini berarti Yesus menyatakan bahwa perintah untuk
mengasihi Allah menjadi yang “pertama” dan “terbesar.” [58]
Firman
Tuhan mengatakan bahwa: “..semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah” (Rm. 3:23), setiap orang itu berdosa, walaupun orang itu
berusaha sedemikian rupa tetap tidak bisa menghindari dosa. Walaupun ayat ini
sepertinya bertentangan dengan (1 Kor.10:13) yang mengatakan bahwa di dalam
setiap pencobaan selalu ada jalan keluar, namun dalam situsi terdesak sebagian
orang tidak menemui jalan keluar, tetapi justru menemui jalan buntu, sehingga
orang tersebut secara spontan berbohong
demi menyelamatkan. “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel.
20:16), berbohong itu dilarang oleh Allah. Jadi orang yang berbohong itu berdosa
dan upah dosa ialah maut (Rm.6:23a). dalam hal ini harus diingat kembali bahwa
manusia berdosa sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menghindari dosa atau maut
itu. Keselamatan manusia tidak bisa diperoleh melalui usaha sendiri, tetapi
pemberian Allah (Ef. 2:8). Penulis mengakui berbohong demi kebaikan itu tetap
dosa, karena berbohong tidak dapat dibenarkan.
Jadi
semua dosa dapat dihindari melalui
anugerah Allah.
Konflik antara berbagai Kewajiban Moral
Masalah
yang paling mendesak ialah masalah konflik antara berbagai kewajiban moral.
Bila seseorang mengalami dilema dalam prinsip moral, dengan sendirinya salah
satu yang harus dipilih, sebaliknya ada salah satu harus mengalah. Orang tidak
mungkin mengerjakan hal-hal yang berlawanan secara bersamaan. Misalnya,
seseorang yang harus memilih antara berdusta untuk melindungi satu jiwa, atau
mengatakan sebenarnya untuk menunjukkan kepada seorang pembunuh di mana
korbannya bersembunyi.[59]
DAFTAR
PUSTAKA
Augustine,
Saint. On Lying, in Nicene and Post-Nicene
Fathers of the Christian Church,
vol. 3,
ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198.
Berbohong dan
Kebenaran-Telling
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/et hics/lying/lying_1.html
(diunduh 28 Maret 2014).
Browning,W.R.F. Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible. Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor
di Dalamnya. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987.
Cornish, Rick. 5 Menit Teologi. Bandung: Pionir Jaya,
2007.
Fletcher,
Joseph. Situation Ethics: The New
Morality (Philadelphia: Westminster Press,
1974),198.
Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Fu, Timotius.
Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan
Volume 8 Nomor 1. Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, April 2007.
Geisler, Norman L. Etika Kristen, Pilihan dan Isu. Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000.
http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/berbohong-demi.html
(diunduh 6 Maret 2014).
Http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/hatihati.berbohong.putih.ke.bali ta/001/007/681/1/1.html
(diunduh 27 Januari 2014).
http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3 Dnorman%2Blie%2Bto%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke tiga. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Menguak
Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan. http://www.wirantaprawira.de/pakorba/bagian_2.pdf
(diunduh 26 Februari 2014). [1]Museum
Ten Boom, http://tenboom.org/tentang-ten-boom-c708.php (diunduh 19 Maret 2014).
Ringkasan Eksekutif Tim Ad
Hoc Peristiwa 1965-1966, http://tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/Komnas%20HAM%2 01965%20report%20Indonesian.pdf (diunduh 17 Maret
2014).
Sitohang, Samin H. Kasus-kasus
dalam Perjanjian Lama. Bandung: Kalam Hidup, 2005.
Srotosudarmo, R.M.
Drie. Etika Kristen untuk perguruan
Tinggi, Etika Dasar dan Penerapannya
dalam Hidup Praktis Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2007.
Suseno, Magnis dan Franz. Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks
Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Thielicke, Helmut. Theological
Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966), 198.
Tonkelaar, Johan Dirk Alexander. Optimus Ludex: Over Het Belang Van de
Selectie Van Onze Reahters. London: Kluwer, 2001.
Wellem, Federiek Djara. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004.
White, Jerry. Kejujuran Moral dan Hati Nurani.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Teolog Kristen St Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa berbohong itu
selalu salah, tapi menerima bahwa ini akan sangat sulit untuk hidup sampai dan
bahwa pada orang kehidupan
nyata perlu get-out clause.[60]
Absolutisme Total
Alasan dasar dari absolutisme total adalah
bahwa seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi
sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral
yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.
Absolutisme
Konflik
Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik adalah bahwa kita hidup di
dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu
konflik-konflik moral yang nyata memang terjadi. Tetapi dasar pikiran yang
menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik),
secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Dalam kasus-kasus
seperti itu, seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui
dosanya, dan memohon
pengampunan Allah. Bagian ini menjelaskan latar
belakang sejarah, prinsip dasar, kontribusi positif, dan kritik dari
absolutisme konflik.
Dasar pemikiran yang menyertai
adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan, secara moral manusia
bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan
tanpa kesalahan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus
benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon
pengampunan Allah.[61]
Charles Hodge
Hodge berpendapat bahwa pada
waktu seseorang mengebawahkan suatu kewajiban moral yang lebih rendah menjadi
lebih tinggi, berarti tidak berbuat dosa. Hodge yakin untuk
menipu dengan sengaja agar dapat menyelamatkan hidup adalah benar.
Corrie Ten Boom menceritakan bagaimana
dia berbohong untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kamp-kamp kematian Nazi.
Apakah pernah tepat untuk berbohong
untuk menyelamatkan kehidupan? Masalah ini akan berfungsi untuk memfokuskan perbedaan antara
enam sistem etika dasar.
Aspek-aspek positif dari Absolutisme Total
Absolutisme total memiliki banyak
pujian sebagai satu etika Kristen. Pandangan ini didasarkan pada karakter Allah
yang tidak berubah, naturnya adalah deontological, pandangan ini mempunyai
kepercayaan di dalam providensia Allah dan memegang kepercayaan bahwa selalu ada
jalan untuk menghindarkan perbuatan dosa.
Aspek-aspek Negatif dari Absolutisme
Total
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 34.
[33]Saint
Augustine, On Lying, in Nicene and
Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol. 3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm.
B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak?
Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).
[42]Saint
Augustine, On Lying, in Nicene and
Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol. 3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm.
B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak?
Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26
Maret 2014).