Selasa, 18 November 2014



TINJAUAN ETIS TERHADAP KASUS “BERBOHONG DEMI KEBAIKAN DALAM PERSPEKTIF ALKITAB” DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN ORANG PERCAYA



SKRIPSI
  
RUTH PRIHATINI

CIANJUR, AGUSTUS 2014




BAB 1
PENDAHULUAN

            Bab pertama, memaparkan tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, penegasan istilah, metode penulisan, manfaat penulisan,  dan sistematika penulisan.
Latar Belakang Masalah
              Setiap orang memungkinkan untuk diperhadapkan pada pilihan yang “dilema”[1] di mana harus melakukan suatu kebohongan untuk kebaikan. Selain itu juga sering terjadi pro dan kontra tentang berbohong demi kebaikan. Ada orang yang mengatakan tidak boleh berbohong demi alasan apa pun. Berbohong untuk kebaikan adalah dosa.[2] Pendapat lain mengatakan bahwa  berbohong demi kebaikan diperbolehkan, apalagi dengan tidak mengatakan sebenarnya demi membantu seseorang, asalkan demi tujuan yang baik, atau berbohong demi menyelamatkan diri sendiri, atau orang lain dengan tujuan yang baik.[3]
              Salah satu contoh kasus pelik yang menyebabkan seseorang berbohong demi kebaikan adalah kasus  Hadiwijaya. Hadiwijaya berasal dari Cepu Jawa Tengah yang merantau ke Deli di tahun 1963 dan bekerja di Perkebunan Saentis PPN Sumatra Utara. Perkebunan ini berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara, lokasinya di pinggiran Kotamadya Medan. Hadiwijaya bekerja sebagai buruh cangkul di perkebunan tembakau.[4] Tahun 1965-1966 terjadi suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang  menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara. Pada tanggal 15 Oktober 1965 Hadiwijaya ditahan karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI, yang berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa orang-orang yang masuk dalam daftar inilah yang kemudian mengalami berbagai bentuk kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan pelanggaran HAM yang berat.[5]
              Dalam peristiwa ini, Hadiwijaya berbohong demi keselamatan dirinya dari pembantaian di Sei Ular. Dia  melarikan diri dari tahanan yang akan membantainya dan bergabung dengan dua puluh orang kawan-kawannya sesama tahanan lainnya yang diperkirakan akan dibebaskan. Ketika  pengawal yang bertugas sebagai juru panggil menghardiknya "Kau siapa!?" dan secara spontan  Hadiwijaya berbohong dengan mengatakan bahwa,  “Aku kernet” maka ia lepas dari pembantaian tersebut.
Hadiwijaya berbohong untuk menyelamatkan dirinya dari pembantaian di Sei Ular[6].
              Masalah lain juga dialami oleh  Corrie Ten Boom, bagaimana dia berbohong untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari kematian Nazi.[7] Corrie Ten Boom adalah seorang wanita pelayan Tuhan yang setia dan bersaksi kepada banyak orang supaya mencintai Allah. Pada tahun 1943 dan 1944, Corrie berusaha menyelamatkan orang-orang Yahudi dari kematian Nazi dengan cara berbohong kepada Gestapo (polisi rahasia Nazi)  dan menyembunyikan kaum Yahudi tersebut. Pada tanggal 28 Februari 1944, Gestapo  menggerebek rumah tempat persembunyian kaum Yahudi. Gestapo telah menggeledah rumah itu dengan sistematis, tetapi Gestapo tidak bisa menemukan dua lelaki Yahudi, dua wanita Yahudi, dan dua anggota bawah tanah Belanda yang aman tersembunyi di balik dinding palsu di kamar Corrie. Banyak waktu Corrie dihabiskan menjaga orang-orang ini setelah mereka bersembunyi. Melalui kegiatan ini, keluarga Ten Boom dan banyak teman mereka menyelamatkan nyawa kira-kira delapan ratus orang Yahudi, dan melindungi banyak pekerja bawah tanah Belanda.[8]
              Selain Hadiwijaya dan Corrie Ten Boom kasus yang serupa ternyata dialami juga oleh Lioyd Bucer, komandan kapal mata-mata Amerika Serikat Pueblo, bersama 23 awaknya yang tertangkap di wilayah laut Korea Utara. Pengakuan bohong kepada  pemerintah Korea Utara untuk menyelamatkan para awak yang kemudian dibebaskan[9] dari tahanan,  siksaan/pukulan secara teratur dan ancaman kematian.[10]
              Dari contoh kasus  berbohong  demi kebaikan yang dipaparkan di muka, setiap tokoh dalam kasus tersebut diperhadapkan pada situasi yang dilematis. Pengambilan keputusan etis sering menyangkut pilihan yang sukar. Orang yang bersungguh-sungguh pun tidak selalu mengetahui perbuatan mana yang paling tepat. Meskipun orang betul-betul mengabdi kepada Allah, tetapi orang itu mungkin mengalami kesusahan dalam menentukan apakah kehendak Allah dalam suatu dilema moril.[11]  Begitu juga dengan kejujuran tidak terjadi dengan mudah, bahkan juga di antara orang-orang Kristen. Hampir secara otomatis mengatakan kebohongan.[12] Mengapa tidak berani jujur karena  takut dengan konsekuensi-konsekuensinya, menganggap sudah tidak ada jalan yang lebih baik selain berbohong. Berbohong demi kebaikan dilakukan untuk kebaikan seseorang, dan juga sebagai cara pintas untuk  menyelamatkan diri atau orang lain dalam situasi terdesak.
              Bagaimanakah seorang Kristen dapat berlaku jujur atau dapat mengambil keputusan-keputusan yang bersifat moral dan etis? Orang Kristen bisa menjadi yakin bahwa Alkitab memberikan jawaban-jawaban yang dapat dilaksanakan berhubungan dengan dilema-dilema moral, dan juga memberikan petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai untuk menjalankan hidup dengan jujur.[13]
               Bukankah orang percaya dilarang berdusta (Kel.20:16)?. Di bagian lain, Alkitab bersaksi bahwa iblislah si pendusta itu dan bapa dari segala dusta (Yohanes 8:44). Kalau demikian, apakah  orang boleh berbohong demi kebaikan,  berbohong untuk menyelamatkan diri sendiri atau orang lain dalam situasi terdesak? Bagaimana tinjauan etikanya baik secara umum maupun secara alkitabiah dari kasus-kasus di atas, bolehkah  berbohong walaupun kondisinya diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik?   
              Berdasarkan latar belakang  di atas, penulis tertarik untuk menuliskan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Etis terhadap Kasus Berbohong  demi Kebaikan dalam Alkitab dan Implikasinya terhadap Kehidupan Orang Percaya.
Rumusan Masalah
              Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perlu dirumuskan pokok-pokok penting permasalahannya, sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah tinjauan umum tentang berbohong demi kebaikan?
2.        Bagaimanakah perspektif Alkitab tentang berbohong demi kebaikan?
3.        Apa implikasinya terhadap kehidupan orang percaya?


Tujuan Penulisan
  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1.    Memaparkan tinjauan umum tentang berbohong demi kebaikan.
2.    Memaparkan  perspektif Alkitab tentang berbohong demi kebaikan.
3.    Menjelaskan  implikasinya terhadap kehidupan orang percaya.




Ruang Lingkup Penulisan
              Ruang lingkup pembahasan penulisan skripsi ini dibatasi hanya pada kasus-kasus yang pelik dan dilematis “berbohong demi kebaikan” menurut iman  Kristen.  Kasus yang pelik ini dibatasi hanya pada kasus-kasus yang darurat untuk menyelamatkan orang atau diri sendiri dari ancaman kematian. Pembatasan ini dilakukan supaya memudahkan pembahasan, sehingga tidak meluas dari pokok bahasan yang dibicarakan.

Penegasan Istilah
  Berkenaan dengan judul skripsi ini, maka perlu ada penegasan dari beberapa istilah yang dipakai agar tidak terjadi salah pengertian. Istilah yang perlu ditegaskan dalam skripsi ini adalah:
1.      ETIS adalah hubungan sesuai dengan etika. Etika secara umum yaitu perbuatan baik yang berdasarkan keputusan yang diambil dari proses analisa  dan pertimbangan atas suatu hal atau masalah.[14] Etika Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas yaitu berlandaskan sesuatu yang mutlak  dari Allah Yang Maha Tinggi, etika ini harus dilakukan oleh orang Kristen.[15]
2.      BERBOHONG menyatakan sesuatu yang tidak benar. Berbuat bohong, dusta.[16] Jadi berbohong atau berdusta adalah menyaksikan sesuatu yang tidak benar kepada seseorang dengan maksud yang disengaja.
3.      KEBAIKAN adalah sifat baik, perbuatan baik, kegunaan, sifat manusia yang dianggap baik menurut sistem norma dan pandangan umum yang berlaku.[17] Kebaikan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah apa yang Allah kehendaki baik. Tindakan apapun yang ditetapkan Allah sebagai tindakan yang baik adalah satu tindakan yang baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki satu tindakan itu jahat, maka tindakan itu jahat.[18]
4.       IMPLIKASI merupakan keterlibatan atau keadaan terlibat manusia sebagai objek pencobaan atau penelitian yang semakin terasa manfaat dan kepentingannya.[19]
5.      ORANG PERCAYA adalah setiap orang yang mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dalam kehidupannya secara pribadi. Orang yang percaya sering disebut juga sebagai anak-anak Allah yang menikmati pimpinan Ilahi dari Roh Kudus, dan menjadi ahli waris bersama-sama dengan Kristus dalam kekekalan (Roma 8:17).[20]

Metode Penulisan
              Jenis penulisan yang dipakai dalam skripsi ini adalah kualitatif, metode penulisan deskriptif dengan studi kasus, yaitu bersifat memaparkan dengan menggunakan pendekatan pustaka (library research). Pendekatan teorinya adalah etika biblika dengan menggunakan sistem etika absolutisme bertingkat. Adapun buku-buku yang digunakan ada dua sumber, yaitu sumber primer (utama) dan sumber sekunder. Sumber pustaka primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah Alkitab sebagai dasar berteologi dan merupakan tolok ukur untuk mengkaji kasus-kasus “berbohong demi kebaikan.” Sumber pustaka sekunder  yang digunakan  adalah buku-buku yang ditulis oleh teolog-teolog Kristen yang membahas tentang berbohong,  jurnal, dan media informasi yang mendukung topik yang akan dibahas.
Manfaat Penulisan
  Dengan penjelasan penulisan yang telah dipaparkan maka penulisan ini sangat  penting dan bermanfaat bagi:
1.    Penulis, supaya memahami tentang tinjauan etis terhadap berbohong demi kebaikan dan mengimplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Sekolah, menjadi sebuah referensi tentang etika dalam kaitannya “berbohong demi kebaikan.”

Sistematika Penulisan
              Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
              Bab pertama, memaparkan tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, penegasan istilah, metode penulisan, manfaat penulisan,  dan sistematika penulisan.
              Bab kedua akan memaparkan mengenai tinjauan etika Kristen berbohong demi kebaikan yang meliputi: definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan, tujuan berbohong demi kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan tinjauan etika secara umum tentang pemahaman berbohong demi kebaikan. Tinjauan etika secara umum yang penulis paparkan  terdapat dalam enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
              Bab ketiga, akan diuraikan perspektif Alkitab tentang berbohong demi kebaikan, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama penulis mengambil dari Kitab-kitab Pentateukh, yaitu kisah tentang Abraham, Ishak, Yakub, Sifra dan Pua. Selain itu dalam Kitab-kitab Sejarah terdapat kisah tentang Rahab, dan kisah Daud. Dalam Perjanjian Baru penulis mengambil kisah Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus dan perbandingannya dengan Ananias dan Safira. One famous example is in Exodus 1:15-21 and the story of thTwice in the story we are told that their motive behind their action was that they 'feared God' in v.17 and v.     Penulis juga menguraikan sikap yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya dalam menyikapi kasus “berbohong demi kebaikan.”
              Bab keempat, akan diuraikan sikap orang percaya terhadap berbohong demi kebaikan yang meliputi: selektif dalam mengimplikasikan berbohong demi kebaikan, beberapa sikap mendasar yang harus dilakukan, menghindari situasi pelik atau menghadapi situasi pelik. Selain itu juga diuraikan beberapa sikap mendasar yang tidak seharusnya dilakukan, baik memilih berbohong untuk keuntungan diri sendiri, berbohong demi kebaikan dalam situasi tidak pelik maupun memilih kewajiban yang lebih rendah dari kewajiban yang lebih tinggi.
              Bab kelima, menguraikan  kesimpulan dan saran sebagai hasil dari kajian skripsi ini.






BAB 2
TINJAUAN ETIKA KRISTEN
BERBOHONG DEMI KEBAIKAN

              Dalam bab kedua ini penulis akan memaparkan mengenai definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan, tujuan berbohong demi kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan tinjauan etika secara umum  tentang pemahaman berbohong demi kebaikan. Tinjauan etika secara umum yang penulis paparkan terdapat dalam enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Definisi Berbohong secara Umum
              Definisi umum kebohongan adalah suatu ketidaksesuaian yang disadari antara pikiran dan perkataan, tidak memadai sama sekali. Kebohongan adalah penolakan, penyangkalan, dan perusakan yang disadari dan disengaja atas realitas yang diciptakan Allah dan yang berada di dalam Allah, tidak peduli apakah tujuan ini dicapai melalui perkataan atau melalui diam.[1] Menurut Saint Augustine, setiap pembohong  mengatakan kebalikan dari apa yang ada di dalam pikiran atau di dalam
hatinya, dengan tujuan untuk menipu. Dusta adalah suatu pemalsuan yang disengaja.[2]
              Kebohongan juga disebut kepalsuan, adalah jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau reputasi, menolong orang lain, melindungi diri sendiri, mencari keuntungan, atau untuk menghindari hukuman atau tolakan untuk satu tindakan. Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar. Seorang pembohong adalah orang yang berbohong, yang sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung oleh alam untuk berbohong berulang kali -- bahkan ketika tidak diperlukan.
              Kebohongan merupakan suatu ‘penyakit kronis’ yang mengakar dalam diri manusia setiap ia melakukannya. Dengan begitu, kebiasaan berbohong itu dapat dilakukan secara terus menerus dan bertumpuk-tumpuk sehingga berubah menjadi kebohongan yang nyata. Kebohongannya mengarahkan kepada hal yang merugikan, bahkan membuat diri si pembohong tidak lagi merasa bahwa dirinya telah berbohong.[3]
Definisi Berbohong Demi Kebaikan
              Berbohong demi kebaikan adalah mengatakan dengan tidak sebenarnya demi kebaikan diri sendiri atau orang lain. Berbohong demi kebaikan merupakan suatu inisiatif yang semata-mata untuk menolong seseorang atau diri sendiri dari hal yang buruk yang akan menimpanya. Dalam hal ini orang tersebut tidak menemui  alternatif lain, kecuali dengan cara berbohong. Berbohong demi kebaikan memiliki beberapa tujuan diantaranya yaitu: menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Tujuan Berbohong Demi Kebaikan
              Seseorang yang berbohong demi kebaikan tentu memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya. Dalam hal ini pasti menurut pandangan umum diperbolehkan.  Tujuannya antara lain ialah: untuk menyelamatkan dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Menyelamatkan dari Ancaman Kematian
Seperti yang telah dipaparkan di latar belakang masalah bahwa kasus Hadiwijaya, Corrie ten Boom, dan Lioyd Bucer, berbohong  dengan tujuan menyelamatkan orang dari situasi yang sulit. Berbohong demi menyelamatkan termasuk berbohong demi kebaikan, karena menyelamatkan seseorang berarti mencegah pembunuhan. Demikian juga di dalam Firman Allah yang mengatakan “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Seharusnya setiap orang mematuhi perintah Firman Allah yang melarang untuk membunuh.  Begitu juga membiarkan orang untuk dibunuh dengan tanpa usaha untuk menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, berarti  tidak memeliki belas kasihan, maka sebaiknya orang berusaha mencegah pembunuhan tersebut dengan cara menyelamatkannya.  


Kasih yang Lebih Besar
              Selain berbohong dengan tujuan menyelamatkan, seseorang berbohong dengan tujuan untuk menunjukkan kasih yang lebih besar kepada sesama manusia. Seseorang dapat menunjukkan kasih yang lebih besar ketika berusaha menyelamatkan nyawa manusia dibandingkan mengatakan yang sesungguhnya, sehingga orang lain dibiarkan untuk dibunuh. Seseorang dapat menunjukkan kasih kepada sesama manusia dengan cara menolong  orang lain dalam keadaan terjepit. Jika tidak segera ditolong kemungkinan orang lain itu akan mati. Kalau tidak melakukan apapun untuk menolong orang yang dalam keadaan terjepit sehingga orang lain itu mati, berarti tidak menunjukkan sikap yang mengasihi sesama manusia. Sedangkan mengasihi sesama manusia adalah perintah Allah (Mat. 22:39). Mengasihi sesama itu baik (Gal. 6:9) dan bertindak murah hati juga baik (Kis. 2:44-45), sebab semua timbul dari kasih Allah (1Yoh. 5:2).[4] Jika tidak menunjukkan bagaimana mengasihi sesama manusia, berarti melanggar perintah Allah.
Membela yang Tidak Bersalah
              Usaha untuk menyelamatkan orang yang  tidak melakukan kejahatan yang semestinya  akan dimusnahkan oleh sesama manusia, merupakan suatu kebenaran. Orang yang tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal, sehingga harus menerima hukuman yang tidak layak, seharusnya patut menerima pembelaan. Dalam rangka  menyelamatkan orang-orang tersebut, walaupun dengan cara berbohong, dapat disebut juga sebagai pembelaan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi tujuan berbohong di sini ialah untuk membela yang tidak bersalah.
Alasan Orang Melakukan Berbohong Demi Kebaikan
              Sebagian orang  beranggapan bahwa berbohong akan mengakibatkan hasil yang lebih baik daripada mengatakan yang sebenarnya, maka orang akan berpendapat bahwa lebih baik untuk berbohong.  Sebagian orang lagi mengatakan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika tidak berbohong. These lies are thought less bad than other lies because they prevent a greater harm occurring; they are basically like other actions of justified self-defence or defence of an innocent victim.The good consequences of the lie are much greater than the bad consequencesHasilnya jauh lebih baik ketika berbohong daripada berkata jujur. Kebohongan tersebut  untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah yang dinyatakan akan menderita ketidakadilan. Anggapan umum  berbohong  demi kebaikan itu dapat dibenarkan. Kebohongan yang dilakukan dalam keadaan darurat, pembenaran lain adalah bahwa orang berbohong, karena belum sempat untuk memikirkan kegiatan pemilihan. Dalam hal ini memilih untuk  berbohong atau jujur, kebohongan itu muncul secara spontan demi melindungi diri sendiri atau orang lain dalam keadaan terdesak.[5]
            Selain dalam keadaan terdesak atau darurat, Threatening situations don't just occur as emergencies; there can be long-term threat situations where lying will give a person a greater chance of survival.situasi yang mengancam juga dapat terjadi dalam situasi ancaman jangka panjang, ketika berbohong akan memberikan seseorang kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. In the Gulag or in concentration camps prisoners can gain an advantage by lying about their abilities, the misbehaviour of fellow-prisoners, whether they've been fed, and so on. Dalam Gulag atau di kamp konsentrasi tahanan bisa mendapatkan keuntungan dengan berbohong tentang kemampuan, perilaku sesama tahanan, makanan, dan sebagainya. In a famine lying about whether you have any food hidden away may be vital for the survival of your family. Dalam kondisi   kelaparan,  berbohong   dengan   mengatakan    tidak   memiliki    makanan
tersembunyi, mungkin penting untuk kelangsungan hidup keluarga.
Tinjauan Etika Secara Umum Tentang Pemahaman
Berbohong demi Kebaikan

  Di latar belakang masalah sudah dipaparkan bahwa, Corrie Ten Boom, Hadiwijaya, dan Lioyd Bucer berbohong demi kebaikan yaitu berbohong untuk menyelamatkan kehidupan. The Hebrew midwives lied to save the baby boys Pharaoh had commanded them to kill (Exod. 1:1

Orang-orang tersebut berbohong karena diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik. Oleh karena This issue will serve to focus the differences between the six basic ethical systmasalah yang sangat pelik,  maka penulis mencoba mencocokkan  dengan enam sistem etika dasar.
              Pada umumnya, sistem-sistem etika masuk ke dalam dua kategori: nonabsolutisme dan absolutisme. Dalam kategori nonabsolutisme, ada antinomianisme, situasionisme, dan generalisme. Dalam kategori absolutisme, ada absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Antinomianisme
              Sistem etika dalam  kategori: nonabsolutisme yang pertama ialah Antinomianisme. Antinomianisme secara harafiah  berarti “menentang atau sebagai  pengganti hukum,” menganggap bahwa tidak ada hukum-hukum moral yang mengikat, segala sesuatu itu bersifat relatif. Penganut antinomian sangat menekankan nilai individu di dalam membuat keputusan-keputusan etis.[6]
Sejarah Singkat Antinomianisme
              Setiap sistem etika yang terbentuk pasti memiliki sejarah yang tidak mungkin terlupakan. Demikian juga dengan antinomianisme etis memiliki sejarah panjang. Penulis tidak menguraikan sejarah antinomianisme yang begitu panjang, tetapi hanya  menguraikan sedikitnya ada tiga gerakan dalam dunia kuno yang mempengaruhi bangkitnya antinomianisme yaitu: prosesisme, hedonisme dan skeptisisme.[7]
              Prosesisme
              Dalam prosesnya terbentuknya sistem etika antinomianisme, seorang filsuf Yunani Kuno Heraclitus percaya segala sesuatu di dunia ini ada di dalam keadaan yang selalu berubah terus-menerus. Heraclitus berkata, “tidak ada orang yang menginjak ke dalam air sungai yang sama dua kali, karena air yang terus mengalir.” Hal ini jika diterapkan pada bidang etika, tidak ada hukum-hukum moral yang tetap ada. Setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi.[8]
              Hedonisme
Dalam prosesisme menyatakan bahwa setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi yang ada. Hal ini berbeda dengan hedonisme. Penganut Epicurean kuno memberikan dorongan pada etika relativitas, yang membuat kenikmatan  sebagai esensi kebaikan dan rasa sakit sebagai esensi kejahatan, yang dikenal sebagai hedonisme. Kata hedon berasal dari bahasa Yunani yang berarti kenikmatan.[9] Kenikmatan relatif bagi orang, tempat dan zaman. Tinggal di desa merupakan hal yang menyenangkan bagi beberapa orang, tetapi sebagian orang merupakan penderitaan belaka. Dengan demikian pandangan ini menyatakan bahwa apa yang secara moral baik bagi seseorang mungkin jahat bagi orang lain.
              Skeptisisme
Selain prosesisme, hedonisme, ada juga skeptisisme yang mempengaruhi bangkitnya Antinomianisme. Orang skeptis menekankan bahwa setiap masalah memiliki dua sisi (salah atau benar) dan setiap pertanyaan dapat dibantah terus menerus. Dalam hal ini berarti tidak ada kesimpulan yang kuat dan final yang dapat ditarik. Dengan demikian etika ini menyatakan bahwa tidak ada yang akan dianggap benar atau salah secara mutlak.[10]
              Tanggapan Antinomianisme terhadap berbohong demi kebaikan atau              untuk menyelamatkan

Antinomianisme[11] mengklaim bahwa berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah tidak benar atau salah. Tidak ada hukum.It insists that there are no objective moral principles by which the issue can be judged right or wrong. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keadaan sebenarnya, di mana masalah tersebut dapat dinilai benar atau salah. The issue must be decided on subjective, personal, or pragmatic grounds, but not on any objective moral grounds. Masalah ini harus diputuskan di atas dasar pandangan perasaan sendiri, personal atau bersifat praktis dan berguna bagi umum, tetapi tidak di atas dasar moral yang sesuai keadaan sebenarnya. Dalam memutuskan masalah tersebut benar-benar tanpa sebuah hukum moral.[12]
Situasionisme
Sistem etika non-absolutisme yang kedua, ialah situasionisme. Situasionisme berpihak pada satu norma yang tidak bisa dipatahkan. Norma itu adalah hukum kasih. Posisinya bukan pandangan yang terbatas tanpa hukum yang berkata tidak ada hukum apapun, demikian pula bukan absolutisme total yang mempunyai hukum untuk segala sesuatu. Posisinya ada pada satu hukum untuk segala sesuatu, yaitu hukum kasih.[13]
Empat Prinsip Situasionisme
Menurut Fletcher, ada empat prinsip situasionisme yang dipergunakan yaitu: pragmatisme, relativisme, positivisme dan personalisme. Dengan adanya empat prinsip situsionalisme bukan bermaksud bahwa harus menyimpulkan situasionisme itu benar-benar bersifat relatif dan nonnormatif. Dalam hal ini diartikan bahwa di dalam kerangka norma kasih yang absolute ini, segala sesuatu yang lain bersifat pragmatis, relativistis, positivis, dan personalistis.[14]
              Pragmatisme
Pendapat Fletcher terhadap pendekatan pragmatisme ialah: “Yang benar hanya dikaitkan dengan cara kita”. Hal itu merupakan,  apa yang berguna atau apa yang memuaskan, memiliki tujuan yaitu, demi tercapainya kasih. Fletcher ingin supaya kasih dapat diwujudkan dan membawa hasil. Pendekatan ini mencari jawaban-jawaban yang konkret dan praktis.[15]   
              Relativisme
Di dalam relativisme menyatakan bahwa hanya ada satu yang absolut; segala sesuatu yang lain bersifat relatif untuknya. Harus ada satu yang mutlak untuk mendapatkan relativitas yang benar. Hanya satu yang mutlak yaitu kasih. Di dalam situasionisme, Kristen tolok ukurnya adalah kasih agape. Orang-orang Kristen harus dengan konstan mengingatkan dirinya sendiri bahwa segala sesuatu yang lain relatif untuk mengacu kepada kasih.[16]
            Positivisme
            Positivisme[17] menganggap bahwa nilai-nilai didasarkan pada kehendak bebas, bukan secara rasional. Emotivisme berbicara tentang nilai-nilai moral yang dipikirkan sebagai ungkapan-ungkapan perasaan seseorang daripada ketentuan untuk hidup seseorang. Etika positivistis atau emotif menempatkan seni dan moral di dalam kelompok yang sama, keduanya menghendaki satu keputusan atau lompatan iman. Pernyataan-pernyataan etis tidak mencari pembuktian; tetapi mencari pembenaran. Hanya satu di dalam satu norma yaitu kasih Kristen.[18]
            Personalisme
   Hanya manusia yang memiliki nilai pada dirinya. Nilai benda hanya bergantung pada “keadaan”. Nilai benda-benda ditentukan oleh keterkaitannya dengan manusia. Menurut Fletcher,[19] menganggap bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai intrinsik apa yang dimaksudkan Kant bagaimana memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan tidak pernah sebagai alat. Demikian arti kasih yaitu menghubungkan segala sesuatu pada kebaikan manusia.
            Hubungan antara pragmatisme, relatisme, Positivisme, dan Personalisme
            Hubungan empat prinsip situasionisme adalah situasionalisme etika dengan strategi pragmatis, taktik yang relativisme, sikap yang positivistis dan pemusatan nilai personalistis. Hal ini adalah satu etika dengan satu kemutlakan di mana segala sesuatu yang lain relatif. “Tujuan yang ingin dicapai bersifat pragmatis demi melakukan apa yang baik bagi seseorang.”[20]
            Tanggapan situasionisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk        menyelamatkan

            (3) Lying is sometimes right: There is only one universal law. Situationism, 11 such as that held by Joseph Fletcher, claims there is only one absolute moral law — and it is not truth-telling. 12 Love is the only absolute, and lying may be the loving thing to do.Penganut situasionisme[21] mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Hanya ada satu hukum universal[22] situationisme,  seperti yang dimiliki oleh Joseph Fletcher, mengklaim hanya ada satu hukum moral mutlak[23] yaitu kasih. Kasih adalah satu-satunya yang mutlak, dan berbohong mungkin dapat dilakukan untuk mengasihi. In fact, lying to save a life is the loving thing to do. Bahkan, berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah hal yang dapat dilakukan dengan penuh kasih. Hence, lying is sometimes right. Oleh karena itu, berbohong kadang-kadang benar.Any moral rule except love can and at times should be broken for love's sake. Setiap hukum moral kecuali kasih dapat dan harus dilanggar demi kasih. [24] Everything else is relative. Segala sesuatu yang lain adalah relatif, hanya satu hal yang absolut. Jadi penganut situasionis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan hidup secara moral dibenarkan.
Generalisme
Penganut generalisme,[25] percaya pada nilai dari hukum-hukum etis untuk membantu individu-individu menentukan tindakan yang mana yang mungkin membawa kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak dari manusia. Penganut generalisme bukanlah orang-orang absolutis, karena  biasanya menolak bahwa secara umum ada norma-norma etis yang mengikat, yang mewakili nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Beberapa Nilai Generalisme
              Tiga nilai yang berhubungan dengan pendekatan normatif  terhadap etika-etika seperti yang diambil oleh orang-orang Kristen. Pertama, generalisme merefleksikan satu kebutuhan akan norma-norma. Kedua, pandangan ini menawarkan satu solusi yang mungkin ke dalam norma-norma yang bertentangan. Ketiga, norma-norma yang tidak bisa dipatahkan.[26]
              Kebutuhan akan Norma-norma
              Generalisme mengakui kebutuhan akan norma-norma yaitu untuk mencapai tujuannya.[27] Tanpa norma-norma atau dasar-dasar normatif lainnya yang diambil  dari pengalaman manusia, tidak ada cara untuk menentukan hasil-hasil jangka panjang dari tindakan-tindakan seseorang. Tujuannya ialah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang diketahui untuk membuahkan hasil-hasil yang baik.
              Satu Solusi Terhadap Norma-norma yang Bertentangan
              Untuk memperoleh solusi terhadap norma-norma yang bertentangan, Generalisme menawarkan satu solusi terhadap problema tentang apa yang dilakukan ketika ada satu konflik kewajiban, seperti konflik antara mengatakan sebenarnya atau menyelamatkan hidup. Dalam hal ini, berbohong itu pada umumnya salah. Hanya ada satu tujuan yang mutlak yaitu “kebaikan besar”. Seluruh cara-cara atau peraturan-peratuaran, norma-norma itu relatif untuk tujuan kebaikan lebih besar.[28] Jika berbohong di dalam satu situasi akan menjadi lebih bermanfaat atau membantu bagi sebagian besar manusia, maka seseorang harus berbohong.[29]

              Satu norma yang tidak dapat dipatahkan
              Selain akan kebutuhan norma-norma, dan satu solusi terhadap norma-norma yang bertentangan,  beberapa generalis juga mencari satu norma yang tidak dapat dipatahkan. Beberapa generalis  menyodorkan satu kasus untuk peraturan-peraturan atau norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Beberapa generalis menawarkan argumen-argumen praktis, agar jangan pernah melanggar satu peraturan seperti menyelamatkan hidup. Keinginan yang sungguh-sungguh untuk memiliki norma-norma tingkah laku yang berarti dan tidak dapat dilanggar ialah satu aspek yang patut dipuji dari etika ini.[30]
              Tanggapan generalisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk          menyelamatkan

              Penganut generalisme mengklaim bahwa berbohong pada umumnya salah. Tidak ada hukum universal. In specific cases, however, this general rule can be broken. Sebagai satu peraturan, berbohong itu salah, tetapi di dalam kasus-kasus khusus peraturan yang umum ini dapat dilanggar karena tidak ada hukum moral universal, maka benar atau tidaknya suatu kebohongan bergantung pada hasilnya. Sebagian besar penganutMost generalists believe that lying to save a life is right because in this case the end justifies the m generalis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan kehidupan itu benar karena dalam kasus ini akhirnya membenarkan cara yang diperlukan untuk mencapainya, tetapi  berbohong pada umumnya salah.[31]
Absolutisme Total
              Di atas telah menguraikan sistem-sistem etika dalam  kategori: non-absolutisme. Selain kategori non-absolutisme, diuraikan juga sistem etika kategori absolutisme. Di dalam penulisan tentang absolutisme, yang pertama dipaparkan tentang absolutisme total. Absolutisme total[32] adalah  seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian. (4) Lying is always wrong: There are many nonconflicting laws. Unqualified absolutism, 13 such as was taught by St. Augustine, claims there are many absolute moral laws, and none of them should ever be broken. 14 Truth is such a law.[33] 
  Kebenaran adalah hukum, harus selalu mengatakan kebenaran, meskipun seseorang  mungkin akan mati sebagai akibat dari hal tersebut. Truth is absolute, and absolutes cannot be broken. Kebenaran adalah mutlak, tidak dapat dilanggar, tidak ada pengecualian untuk mengatakan yang sebenarnya.Results are never used to break rules, even if the results are very desirable. Hasil-hasil tidak pernah digunakan sebagai alasan untuk melanggar peraturan, meskipun hasilnya merupakan hal yang diinginkan.[34] Bagian ini juga menjelaskan absolutisme total Saint Augustine, absolutisme total Kant, absolutisme total John Murray, dan providensia Allah.

Absolutisme Total Saint Augustine
  Uskup abad pertengahan Saint Augustine telah disalah mengerti sebagai seorang situasionis karena pernyataannya bahwa seseorang harus “mengasihi Allah dan melakukan seperti yang dikehendaki-Nya”. Augustine mendasari sistem etisnya secara keseluruhan dengan kasih, namun tidak berarti dia mendasarkan sistem itu hanya pada perintah kasih. Augustine yakin bahwa kasih mewujudkan kebaikan-kebaikan, tetapi kasih tidak mengusai semuanya. Kemurahan hati juga merupakan bentuk kebajikan yang lain.[35]
  Selain yakin bahwa kasih dan kemurahan hati yang harus dilakukan, Augustine juga berargumentasi untuk melawan kebohongan-kebohongan. Augustine mengatakan kebenaran itu adalah hal yang mutlak, dan hal-hal yang mutlak tidak dapat dilanggar.[36] Beberapa orang memberikan kesan bahwa berbohong itu diperbolehkan sebagai satu sarana untuk mendapatkan orang lain ke surga, tetapi Augustine bersikeras bahwa tidak ada kebaikan yang abadi yang dapat dikerjakan oleh kejahatan yang sementara. Pengajaran Kristen itu adalah kebenaran dan tidak ada dusta yang harus menjadi bagian dari pengajarannya.

Absolutisme Total Immanuel Kant
              Immanuel Kant (1724-1804)  adalah salah seorang pemikir yang paling berpengaruh di zaman modern. Kant adalah seorang agnostik yang mempelajari tentang mengetahui realitas pada dirinya, tetapi Kant juga seorang percaya yang saleh
di dalam Allah dan seorang absolutis moral.Some philosophers, most famously the German Immanuel Kant (1724-1804), believed that that lying was always wrong. Immanuel Kant, percaya bahwa  berbohong itu selalu salah.[37] Siapa pun yang berkata bohong, walaupun itu demi kebaikan, pasti ada konsekuensi-konsekuensinya. Sikap jujur di dalam seluruh deklarasi merupakan perintah sakral yang tidak bersyarat dari sebuah alasan, dan tidak dibatasi oleh kebijaksanaan manapun.[38]
Absolutisme Total John Murray
              Murray percaya bahwa hukum Allah itu mengikat secara mutlak. Kehendak Allah merupakan satu refleksi yang berkuasa dari karakter-Nya yang tidak berubah. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka demikian pula manusia. Standar moral di dalam Kitab Suci adalah: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Matius 5:48).
              Perintah untuk mengatakan kebenaran berasal dari hukum Allah yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian yang dapat dibuat untuk ini. Murray menulis, perlunya sifat yang sebenarnya di dalam diri manusia bergantung pada sifat yang sebenarnya dari Allah. Sama seperti manusia harus kudus karena Allah itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah selalu mengatakan yang sebenarnya.”[39]

Providensia Allah
              Dalam pembahasan ini penulis juga menyinggung bahwa di dalam absolutisme total tersirat ada dasar pikiran yang lain yaitu: providensia Allah. Orang-orang absolutis total menekankan bahwa di dalam providensia Allah Dia selalu membuat “satu alternatif ketiga” di dalam setiap dilema moral yang jelas kelihatan. Satu alternatif ketiga merupakan pilihan yang tepat, karena di dalam alternatif ini tidak berbohong, tetapi juga tidak menyerahkan diri atau orang lain untuk dibunuh. Lebih tepatnya ialah menggunakan hikmat dari Tuhan untuk bertindak supaya tidak berbohong dan tidak menyerahkan diri sendiri atau orang lain untuk dibunuh. Memang hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, maka itu harus beriman bahwa Tuhan pasti memberikan perlindungan kepada umat-Nya di tengah-tengah kesukaran. Di dalam beriman, sebaiknya juga meminta hikmat Tuhan supaya dapat bertindak  tepat tanpa berbuat dosa, tetapi tetap selamat. Dengan demikian tidak perlu  berdusta atau melanggar hukum moral mana pun untuk menyelamatkan hidup atau melakukan kebaikan moral lainnya.[40]
Tanggapan Absolutisme Total terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan

              Penganut absolutisme total mengklaim bahwa berbohong selalu salah. Ada banyak norma yang tidak saling bertentangan, terdapat banyak norma-norma universal yang tidak pernah secara nyata berbenturan. Pandangan ini dianut oleh absolutisme yang tak saling bertentangan (nonconflicting absolutisme)[41]  seperti yang diajarkan oleh Saint Augustine, mengklaim ada banyak hukum moral yang mutlak, dan tidak satu pun dari mereka pernah harus rusak.[42] 
Absolutisme Konflik
              Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik[43] adalah  manusia hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata pasti terjadi. Tetapi dasar pemikiran yang menyertai ialah ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan, oleh karena itu dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[44]
Latar Belakang Sejarah dari Absolutisme Konflik
              Absolutisme konflik berakar pada dunia Yunani, dan disesuaikan dengan pemikiran Reformasi dan diekspresikan di dalam eksistensial modern maupun pemikiran popular. Pandangan ini dapat disebut, pandangan untuk menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang paling tidak jahat. Konsep tentang hal-hal yang kurang jahat diberikan dimensi baru oleh doktrin Reformasi mengenai kerusakan moral, khususnya seperti yang dikembangkan oleh Martin Luther.[45]
              Ada dua hal yang diletakkan di dalam pemikiran Lutheran yang memberikan pertumbuhan kepada bentuk absolutisme konflik. Pertama, menjadi teori Luther mengenai dua kerajaan yaitu: orang-orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Hal ini bertentangan, karena orang Kristen memiliki tanggung jawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi konflik-konflik.[46] Kedua, pernyataan Luther bahwa “berbuat dosa dengan berani” diterima sebagai suatu penafsiran pemilihan hal yang kurang jahat. Luther menulis: “Jadilah seorang yang berdosa dan berbuat dosa dengan berani, tetapi yakinlah dengan lebih berani dan bersukacita di dalam Kristus, yang menang atas dosa, kematian dan dunia.
              Dalam hal di atas Helmut Thielicke memperhatikan bahwa Kristus menaklukkan dan mengusai bentuk dunia, jadi kompromi seperti itu perlu. Meskipun dosa itu kadang tidak dapat dielakkan, tetapi dosa dapat ditaklukkan melalui salib. Di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dosa itu tidak terelakkan, tetapi di dalam dunia yang sudah ditebus, dosa juga dapat diampuni. Geisler menerangkan lebih lanjut bahwa, konflik-konflik moral muncul dari fakta bahwa  dunia  yang telah jatuh ke dalam dosa. Dalam dunia seperti itu, akan ada saat-saat ketika manusia tidak dapat menghindarkan dari kejahatan.[47]
Prinsip Dasar dari Absolutisme Konflik
              Menurut Norman Geisler, ada empat alasan dasar di dalam absolutisme konflik. Pertama, hukum Allah itu mutlak dan tidak dapat dipatahkan. Kedua, di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa konflik-konflik yang tidak dapat dihindarkan antara perintah-perintah Allah. Ketiga, ketika konflik-konflik moral terjadi, sebaiknya melakukan hal yang kurang jahat. Keempat, pengampunan tersedia  bagi orang yang mengakui dosa-dosanya.[48]
Tanggapan Absolutisme Konflik terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
        
              Penganut absolut konflik mengklaim bahwa  (5) Lying is forgivable: There are many conflicting laws. Conflicting absolutism 15 recognizes that we live in an evil world where absolute moral laws sometimes run into inevitable coberbohong dapat dimaafkan. Absolutisme konflik mengakui bahwa hidup di dunia yang jahat di mana hukum-hukum moral mutlak kadang-kadang mengalami konflik yang tidak terhindarkan.The German theologian Helmut Thielicke espoused this view. 16 The conflicting absolutist insists that in unavoidable conflicts it is our moral duty to do the lesser evil. Pandangan ini dianut oleh teolog Jerman Helmut Thielicke.[49]  Absolut  konflik menegaskan bahwa dalam konflik yang tidak dapat dihindarkan adalah kewajiban moral manusia untuk melakukan kejahatan yang lebih rendah. Dengan demikian berarti That is, we must break the lessharus melanggar hukum yang lebih rendah dan memohon belas kasihan. For instance, we should lie to save a life and then ask for forgiveness for breaking God's absolute moral law. Misalnya, seseorang harus berbohong demi menyelamatkan nyawa dan kemudian meminta pengampunan karena melanggar hukum moral absolut Allah.[50]Our moral dilemmas are sometimes unavoidable, but we are culpable anyway. Dilema moral ini kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, tetapi orang yang melakukan tetap  bersalah, maka perlu meminta pengampunan kepada Allah. God cannot change His absolute moral prescriptions because of our moral predicaments.
Absolutisme Bertingkat
Absolutisme bertingkat melihat ada suatu hirarki dari kebaikan, bahwa kewajiban-kewajiban moral kadang bertentangan, dan  tidak bersalah karena menaati kewajiban yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip dasar dari absolutisme bertingkat adalah: ada banyak prinsip-prinsip moral yang berakar di dalam karakter moral Allah yang mutlak, ada kewajiban-kewajiban moral yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Contohnya:  kasih kepada Allah merupakan satu kewajiban yang lebih besar daripada kasih kepada manusia; hukum-hukum moral ini kadang masuk ke dalam konflik moral yang tidak terelakkan; di dalam konflik-konflik tersebut diwajibkan untuk mengikuti hukum moral yang lebih tinggi. Pada waktu seseorang mengikuti hukum moral yang lebih tinggi orang tersebut tidak dianggap bertanggung jawab karena tidak memelihara hukum moral yang lebih rendah.[51]
Mengasihi Allah Lebih dari Mengasihi Manusia
              Perintah untuk “mengasihi”[52] Allah dan  mengasihi sesama manusia, merupakan perintah yang paling jelas dan mendasar. Mengasihi Allah lebih diutamakan daripada mengasihi manusia. Secara eksplisit Yesus menyatakan perintah untuk mengasihi Allah menjadi yang pertama dan terbesar (Mat. 22:36-38). Lebih lanjut Yesus mengajarkan bahwa kasih seseorang kepada Allah seharusnya harus lebih besar daripada kasih kepada orang tuanya sehingga kasih kepada orangtua akan kelihatan seperti membenci (Luk. 14:26). Implikasinya adalah jika orangtua mengajar seorang anak untuk membenci Allah, anak tersebut harus tidak menaati orang tua agar dapat menaati Allah.[53]
Menaati Allah Melebihi Pemerintah
              Orang-orang Kristen diperintahkan Allah untuk menaati pemerintah. Ketika ketidaktaatan kepada pemerintah disetujui Allah, hal ini dilakukan mengingat hukum moral yang lebih tinggi. Dalam Alkitab menggambarkan bahwa menyembah Allah itu lebih tinggi dari pemerintah (Dan. 3). Ketika pemerintah memberi tugas kepada bawahannya untuk melakukan pembunuhan terhadap korban-korban yang tidak bersalah (Kel.1), pemerintah seharusnya tidak ditaati. Di dalam setiap kasus kewajiban moral untuk berdoa, menyembah Allah, memberitakan Injil, dan seterusnya, merupakan satu kewajiban yang lebih tinggi daripada tugas untuk menaati pemerintah.[54]
Belas Kasihan Melebihi Kejujuran
              Hukum taurat yang kesembilan melarang berdusta (Kel. 20:16). Penipuan dan dusta berulangkali dihukum di dalam Kitab Suci (Ams. 12:22, 19:5). Namun sebaliknya, Alkitab menunjukkan bahwa ada kesempatan-kesempatan ketika berdusta dengan sengaja itu dapat dibenarkan. Dengan sengaja Rahab menipu untuk menyelamatkan nyawa mata-mata Israel. Tidak ada bagian Alkitab yang menyalahkan Rahab, karena penipuan yang dilakukannya. Kebohongan Rahab merupakan satu bagian yang integral dari tindakan belas kasihan yang diperlihatkan di dalam menyelamatkan nyawa para mata-mata. Selain itu, Alkitab berkata, “Rahab…akan tetap hidup, karena Rahab telah menyembunyikan orang suruhan yang kita suruh” (Yos. 6:17). Dengan demikian, kebohongan merupakan satu bagian yang integral dari imannya untuk mana Rahab dipuji oleh Allah (Ibr. 11:31; Yak. 2:25).[55]
Tangapan absolutisme bertingkat terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan

            (6) Lying is sometimes right: There are higher laws. Graded absolutism, 17 such as this author holds, insists there are many moral absolutes and they sometimes conflict.   Absolutisme bertingkat[56] mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Terdapat hukum-hukum yang lebih tinggi. Absolutisme bertingkat menganggap ada banyak hukum moral absolut dan hukum-hukum itu kadang bertentangan satu dengan yang lain. However, some laws are higher than others, so when there is an unavoidable conflict it is our duty to follow the higher moral lNamun, ada beberapa hukum yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, ketika terdapat satu pertentangan yang tidak dapat dihindarkan, maka kewajibannya adalah menaati hukum moral yang lebih tinggi. Jadi penganut absolutisme bertingkat mayakinkan bahwa berbohong demi menyelamatkan kehidupan seseorang adalah benar.[57]
Kerangka Pemikiran
              Berdasarkan  uraian di atas jelas bahwa ada enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absotisme bertingkat. Penulis lebih cenderung memilih absolutisme bertingkat. Absolutisme bertingkat mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Alasannya adalah beberapa konflik-konflik moral yang secara pribadi tidak dapat dielakkan, di mana seorang individu tidak dapat menaati kedua perintah. Sebagian orang mengalami dilema, harus memilih satu pilihan diantara dua pilihan yaitu: menyelamatkan dan berbohong, atau pilihan kedua, berkata jujur tetapi tidak menyelamatkan orang dari ancaman kematian. Absolutisme bertingkat membenarkan, belas kasihan melebihi kejujuran, menaati Allah melebihi menaati manusia, mengasihi Allah lebih dari mengasihi manusia.
              Hal ini berarti orang yang berbohong demi menyelamatkan kehidupan dibenarkan, dengan catatan berbohong oleh karena benar-benar terjepit atau tidak bisa terhindarkan, demi menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian. Dalam pandangan ini dengan keadaan-keadaan tertentu seseorang tidak bersalah karena mengutamakan kewajiban yang lebih tinggi dari kewajiban yang lebih rendah. Argumen ini didukung karena Yesus berbicara tentang hal-hal “yang lebih berat” mengenai hukum taurat (Mat. 23:23), dan mengenai “yang kecil” (Mat. 5:19) dan perintah “yang paling besar” (Mat. 22:36), Yudas telah melakukan  “dosa yang lebih besar” (Yoh. 19:11).
              Penulis tidak memilih absolutisme total karena absolitisme ini menekankan  berbohong selalu salah, oleh karena hukum moral yang mutlak, maka dosa selalu bisa dihindarkan. Kenyataannya manusia telah berdosa, dan dosa itu tidak bisa dihindarkan. Penulis memilih absolutisme bertingkat oleh karena Alkitab sendiri membicarakan hal ini, di sinilah penulis menemukan jalan keluar. 






















































Kerangka Pemikiran



Di dalam tingkatan-tingkatan kewajiban,  hukum taurat menyatakan bahwa: hukum pertama, manusia mengasihi Allah dan hukum kedua mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-39), (Mrk. 12:30-31), (Luk. 10:27-28). Hal ini berarti Yesus menyatakan bahwa perintah untuk mengasihi Allah menjadi yang “pertama” dan “terbesar.” [58]

Firman Tuhan mengatakan bahwa: “..semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23), setiap orang itu berdosa, walaupun orang itu berusaha sedemikian rupa tetap tidak bisa menghindari dosa. Walaupun ayat ini sepertinya bertentangan dengan (1 Kor.10:13) yang mengatakan bahwa di dalam setiap pencobaan selalu ada jalan keluar, namun dalam situsi terdesak sebagian orang tidak menemui jalan keluar, tetapi justru menemui jalan buntu, sehingga orang tersebut  secara spontan berbohong demi menyelamatkan. “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel. 20:16), berbohong itu dilarang oleh Allah. Jadi orang yang berbohong itu berdosa dan upah dosa ialah maut (Rm.6:23a). dalam hal ini harus diingat kembali bahwa manusia berdosa sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menghindari dosa atau maut itu. Keselamatan manusia tidak bisa diperoleh melalui usaha sendiri, tetapi pemberian Allah (Ef. 2:8). Penulis mengakui berbohong demi kebaikan itu tetap dosa, karena berbohong tidak dapat dibenarkan.
Jadi semua dosa dapat dihindari  melalui anugerah Allah. 










           






























Konflik antara berbagai Kewajiban Moral
Masalah yang paling mendesak ialah masalah konflik antara berbagai kewajiban moral. Bila seseorang mengalami dilema dalam prinsip moral, dengan sendirinya salah satu yang harus dipilih, sebaliknya ada salah satu harus mengalah. Orang tidak mungkin mengerjakan hal-hal yang berlawanan secara bersamaan. Misalnya, seseorang yang harus memilih antara berdusta untuk melindungi satu jiwa, atau mengatakan sebenarnya untuk menunjukkan kepada seorang pembunuh di mana korbannya bersembunyi.[59]










DAFTAR PUSTAKA


Augustine, Saint. On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian     Church, vol.    3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans,    1956), 198.

Lying and truth-tellingBerbohong dan Kebenaran-Telling
            http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/et       hics/lying/lying_1.html (diunduh 28 Maret 2014).

Berbohong Demi, http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/berbohong-demi.html    (diunduh 6 Maret  2014).

Browning,W.R.F. Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible. Jakarta: Bpk Gunung           Mulia, 2008.

Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya.            Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Cornish, Rick. 5 Menit Teologi. Bandung: Pionir Jaya, 2007.

Fletcher, Joseph. Situation Ethics: The New Morality (Philadelphia: Westminster     Press, 1974),198.

Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Fu, Timotius. Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan Volume 8 Nomor 1. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, April 2007.

Geisler, Norman L. Etika Kristen, Pilihan dan Isu. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000.





Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke tiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Kebohongan, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan (diunggah, 28 Maret 2014).

Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Lloyd M. Bucher. http://en.wikipedia.org/wiki/Hal_Holbrook (diunduh 20 Maret    2014).

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan.             http://www.wirantaprawira.de/pakorba/bagian_2.pdf (diunduh 26 Februari             2014). [1]Museum Ten Boom, http://tenboom.org/tentang-ten-boom-c708.php         (diunduh 19 Maret 2014).

Panduan Etika, http://www.bbc.co.uk/ethics/lying/lying_1.shtml (diunduh 28 Maret          2014).

Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966,             http://tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/Komnas%20HAM%2       01965%20report%20Indonesian.pdf (diunduh 17 Maret 2014).

Sei Ular, http://www.minihub.org/siarlist/msg04372.html (diunduh 17 Maret 2014).

Sitohang, Samin H.  Kasus-kasus dalam Perjanjian Lama. Bandung: Kalam Hidup,           2005.

Srotosudarmo, R.M. Drie. Etika Kristen untuk perguruan Tinggi, Etika Dasar dan Penerapannya dalam Hidup Praktis Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2007.

Suseno, Magnis dan Franz. Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks Kunci.      Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Thielicke, Helmut. Theological Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966),    198.    

Tonkelaar, Johan Dirk Alexander. Optimus Ludex: Over Het Belang Van de Selectie          Van Onze        Reahters.  London: Kluwer, 2001.

Wellem, Federiek Djara. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

White, Jerry. Kejujuran Moral dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.



















Christian theologian St. Augustine (354-430) taught that lying was always wrong, but accepted that this would be very difficult to live up to and that in real life people needed a get-out clause. Teolog Kristen St Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa berbohong itu selalu salah, tapi menerima bahwa ini akan sangat sulit untuk hidup sampai dan bahwa pada orang kehidupan nyata perlu get-out clause.[60]
Absolutisme Total
Alasan dasar dari absolutisme total adalah bahwa seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.


Absolutisme Konflik
            Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik adalah bahwa kita hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata memang terjadi. Tetapi dasar pikiran yang menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Dalam kasus-kasus seperti itu, seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah. Bagian ini menjelaskan latar belakang sejarah, prinsip dasar, kontribusi positif, dan kritik dari absolutisme konflik.
            Dasar pemikiran yang menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan, secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[61]

Charles Hodge
            Hodge berpendapat bahwa pada waktu seseorang mengebawahkan suatu kewajiban moral yang lebih rendah menjadi lebih tinggi, berarti tidak berbuat dosa. Hodge yakin   untuk menipu dengan sengaja agar dapat menyelamatkan hidup adalah benar.
            Corrie Ten Boom tells how she lied to save Jews from the Nazi death camps.Corrie Ten Boom menceritakan bagaimana dia berbohong untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kamp-kamp kematian Nazi. More recently (1987), during US Senate hearings on the Iran-Contra issue, Lieutenant-Colonel Oliver North asserted that in the process of performing his duties he had lied to save innocent lives. The Hebrew midwives lied to save the baby boys Pharaoh had commanded them to kill (Exod. 1:19)



Apakah pernah tepat untuk berbohong untuk menyelamatkan kehidupan? This issue will serve to focus the differences between the six basic ethical systems. Masalah ini akan berfungsi untuk memfokuskan perbedaan antara enam sistem etika dasar.
            Many graded absolutists believe that mercy to the innocent is a greater moral duty than telling truth to the guilty.

Aspek-aspek positif  dari Absolutisme Total
            Absolutisme total memiliki banyak pujian sebagai satu etika Kristen. Pandangan ini didasarkan pada karakter Allah yang tidak berubah, naturnya adalah deontological, pandangan ini mempunyai kepercayaan di dalam providensia Allah dan memegang kepercayaan bahwa selalu ada jalan untuk menghindarkan perbuatan dosa.
Aspek-aspek Negatif dari Absolutisme  Total
















                [1]Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 410-411.
                [2]Norman L. Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000), 113.
                [3]Berbohong Demi, http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/html (diunduh 6 Maret 2014).
                [4]W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 43.
                [5]Ibid.
                [6]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 33.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 34.
                [10]Ibid.
                [11]Federiek Djara Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 23. 
                [12]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 30.
                [13]Ibid, 53.
                [14]Ibid.
                [15]Ibid, 53.
                [16]Ibid.
                [17]Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen 2 (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996), 15.
                [18]Ibid.
                [19]Ibid, 54.
                [20]Ibid.
                [21]Franz Magnis Suseno, Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks Kunci (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 119.
                [22]Suatu Kebenaran Universal adalah suatu kewajiban yang mengikat semua orang pada segala zaman dan di semua tempat. Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 457.
                [23]Joseph Fletcher, Situation Ethics: The New Morality (Philadelphia: Westminster Press, 1974),198. Setiap Mutlak? Tentu Saja!
                [24]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 55.
                [25]Johan Dirk Alexander Tonkelaar, Optimus Ludex: Over Het Belang Van de Selectie Van Onze Reahters (London: Kluwer, 2001), 42.
                [26]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 88.
                [27]Ibid, 89.
                [28]Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 475.
                [29]Ibid.
                [30]Ibid, 90.
                [31]Ibid, 82.
                [32]Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 153.
                [33]Saint Augustine, On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol.  3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26 Maret 2014).
                [34]Ibid.
                [35]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 96.
                [36]Ibid, 97.
                [37] Lying and truth-tellingBerbohong dan Kebenaran-Telling http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/ethics/lying/lying_1.html (diunduh 28 Maret 2014).
                [38]Ibid, 102.
                [39]John Murray, Principles of Conduct (Grand Rapids: Eerdmans, 1971), 127.
                [40]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 105.
                [41]D.E. Naat, Etika Kristen (Bandung: Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, 2010), 17.
                [42]Saint Augustine, On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol.  3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26 Maret 2014).
                [43]Ibid, 31.
                [44]Ibid.
                [45]Ibid, 122.
                [46]Ibid, 122.
                [47]Ibid, 125.
                [48]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 125.
                [49]Helmut Thielicke, Theological Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja!
                [50]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 31.
                [51]Ibid, 167.
                [52]John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, Penilaian atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer (Jakarta: OMF, 2005), 455.
                [53]Ibid, 151.
                [54]Ibid, 153.
                [55]Ibid.
                [56]Ibid, 141.
                [57]Ibid.
                [58]A.A. Sitompul, Sinopsis Tiga Injil (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 176.
                [59]Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 459.
[60]Kebohongan, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan (diunggah, 28 Maret 2014).

                [61]Norman L. Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000), 121-122.
 


BAB 2
TINJAUAN ETIKA KRISTEN
BERBOHONG DEMI KEBAIKAN

              Dalam bab kedua ini penulis akan memaparkan mengenai definisi berbohong, definisi berbohong demi kebaikan, tujuan berbohong demi kebaikan, alasan orang berbohong demi kebaikan dan tinjauan etika secara umum  tentang pemahaman berbohong demi kebaikan. Tinjauan etika secara umum yang penulis paparkan terdapat dalam enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Definisi Berbohong secara Umum
              Definisi umum kebohongan adalah suatu ketidaksesuaian yang disadari antara pikiran dan perkataan, tidak memadai sama sekali. Kebohongan adalah penolakan, penyangkalan, dan perusakan yang disadari dan disengaja atas realitas yang diciptakan Allah dan yang berada di dalam Allah, tidak peduli apakah tujuan ini dicapai melalui perkataan atau melalui diam.[1] Menurut Saint Augustine, setiap pembohong  mengatakan kebalikan dari apa yang ada di dalam pikiran atau di dalam
hatinya, dengan tujuan untuk menipu. Dusta adalah suatu pemalsuan yang disengaja.[2]
              Kebohongan juga disebut kepalsuan, adalah jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau reputasi, menolong orang lain, melindungi diri sendiri, mencari keuntungan, atau untuk menghindari hukuman atau tolakan untuk satu tindakan. Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar. Seorang pembohong adalah orang yang berbohong, yang sebelumnya telah berbohong, atau yang cenderung oleh alam untuk berbohong berulang kali -- bahkan ketika tidak diperlukan.
              Kebohongan merupakan suatu ‘penyakit kronis’ yang mengakar dalam diri manusia setiap ia melakukannya. Dengan begitu, kebiasaan berbohong itu dapat dilakukan secara terus menerus dan bertumpuk-tumpuk sehingga berubah menjadi kebohongan yang nyata. Kebohongannya mengarahkan kepada hal yang merugikan, bahkan membuat diri si pembohong tidak lagi merasa bahwa dirinya telah berbohong.[3]
Definisi Berbohong Demi Kebaikan
              Berbohong demi kebaikan adalah mengatakan dengan tidak sebenarnya demi kebaikan diri sendiri atau orang lain. Berbohong demi kebaikan merupakan suatu inisiatif yang semata-mata untuk menolong seseorang atau diri sendiri dari hal yang buruk yang akan menimpanya. Dalam hal ini orang tersebut tidak menemui  alternatif lain, kecuali dengan cara berbohong. Berbohong demi kebaikan memiliki beberapa tujuan diantaranya yaitu: menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Tujuan Berbohong Demi Kebaikan
              Seseorang yang berbohong demi kebaikan tentu memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya. Dalam hal ini pasti menurut pandangan umum diperbolehkan.  Tujuannya antara lain ialah: untuk menyelamatkan dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar, dan membela yang tidak bersalah.
Menyelamatkan dari Ancaman Kematian
Seperti yang telah dipaparkan di latar belakang masalah bahwa kasus Hadiwijaya, Corrie ten Boom, dan Lioyd Bucer, berbohong  dengan tujuan menyelamatkan orang dari situasi yang sulit. Berbohong demi menyelamatkan termasuk berbohong demi kebaikan, karena menyelamatkan seseorang berarti mencegah pembunuhan. Demikian juga di dalam Firman Allah yang mengatakan “jangan membunuh” (Kel. 20:13). Seharusnya setiap orang mematuhi perintah Firman Allah yang melarang untuk membunuh.  Begitu juga membiarkan orang untuk dibunuh dengan tanpa usaha untuk menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, berarti  tidak memeliki belas kasihan, maka sebaiknya orang berusaha mencegah pembunuhan tersebut dengan cara menyelamatkannya.  


Kasih yang Lebih Besar
              Selain berbohong dengan tujuan menyelamatkan, seseorang berbohong dengan tujuan untuk menunjukkan kasih yang lebih besar kepada sesama manusia. Seseorang dapat menunjukkan kasih yang lebih besar ketika berusaha menyelamatkan nyawa manusia dibandingkan mengatakan yang sesungguhnya, sehingga orang lain dibiarkan untuk dibunuh. Seseorang dapat menunjukkan kasih kepada sesama manusia dengan cara menolong  orang lain dalam keadaan terjepit. Jika tidak segera ditolong kemungkinan orang lain itu akan mati. Kalau tidak melakukan apapun untuk menolong orang yang dalam keadaan terjepit sehingga orang lain itu mati, berarti tidak menunjukkan sikap yang mengasihi sesama manusia. Sedangkan mengasihi sesama manusia adalah perintah Allah (Mat. 22:39). Mengasihi sesama itu baik (Gal. 6:9) dan bertindak murah hati juga baik (Kis. 2:44-45), sebab semua timbul dari kasih Allah (1Yoh. 5:2).[4] Jika tidak menunjukkan bagaimana mengasihi sesama manusia, berarti melanggar perintah Allah.
Membela yang Tidak Bersalah
              Usaha untuk menyelamatkan orang yang  tidak melakukan kejahatan yang semestinya  akan dimusnahkan oleh sesama manusia, merupakan suatu kebenaran. Orang yang tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal, sehingga harus menerima hukuman yang tidak layak, seharusnya patut menerima pembelaan. Dalam rangka  menyelamatkan orang-orang tersebut, walaupun dengan cara berbohong, dapat disebut juga sebagai pembelaan terhadap orang yang tidak bersalah. Jadi tujuan berbohong di sini ialah untuk membela yang tidak bersalah.
Alasan Orang Melakukan Berbohong Demi Kebaikan
              Sebagian orang  beranggapan bahwa berbohong akan mengakibatkan hasil yang lebih baik daripada mengatakan yang sebenarnya, maka orang akan berpendapat bahwa lebih baik untuk berbohong.  Sebagian orang lagi mengatakan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika tidak berbohong. These lies are thought less bad than other lies because they prevent a greater harm occurring; they are basically like other actions of justified self-defence or defence of an innocent victim.The good consequences of the lie are much greater than the bad consequencesHasilnya jauh lebih baik ketika berbohong daripada berkata jujur. Kebohongan tersebut  untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah yang dinyatakan akan menderita ketidakadilan. Anggapan umum  berbohong  demi kebaikan itu dapat dibenarkan. Kebohongan yang dilakukan dalam keadaan darurat, pembenaran lain adalah bahwa orang berbohong, karena belum sempat untuk memikirkan kegiatan pemilihan. Dalam hal ini memilih untuk  berbohong atau jujur, kebohongan itu muncul secara spontan demi melindungi diri sendiri atau orang lain dalam keadaan terdesak.[5]
            Selain dalam keadaan terdesak atau darurat, Threatening situations don't just occur as emergencies; there can be long-term threat situations where lying will give a person a greater chance of survival.situasi yang mengancam juga dapat terjadi dalam situasi ancaman jangka panjang, ketika berbohong akan memberikan seseorang kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. In the Gulag or in concentration camps prisoners can gain an advantage by lying about their abilities, the misbehaviour of fellow-prisoners, whether they've been fed, and so on. Dalam Gulag atau di kamp konsentrasi tahanan bisa mendapatkan keuntungan dengan berbohong tentang kemampuan, perilaku sesama tahanan, makanan, dan sebagainya. In a famine lying about whether you have any food hidden away may be vital for the survival of your family. Dalam kondisi   kelaparan,  berbohong   dengan   mengatakan    tidak   memiliki    makanan
tersembunyi, mungkin penting untuk kelangsungan hidup keluarga.
Tinjauan Etika Secara Umum Tentang Pemahaman
Berbohong demi Kebaikan

  Di latar belakang masalah sudah dipaparkan bahwa, Corrie Ten Boom, Hadiwijaya, dan Lioyd Bucer berbohong demi kebaikan yaitu berbohong untuk menyelamatkan kehidupan. The Hebrew midwives lied to save the baby boys Pharaoh had commanded them to kill (Exod. 1:1

Orang-orang tersebut berbohong karena diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik. Oleh karena This issue will serve to focus the differences between the six basic ethical systmasalah yang sangat pelik,  maka penulis mencoba mencocokkan  dengan enam sistem etika dasar.
              Pada umumnya, sistem-sistem etika masuk ke dalam dua kategori: nonabsolutisme dan absolutisme. Dalam kategori nonabsolutisme, ada antinomianisme, situasionisme, dan generalisme. Dalam kategori absolutisme, ada absolutisme total, absolutisme konflik, dan absolutisme bertingkat.
Antinomianisme
              Sistem etika dalam  kategori: nonabsolutisme yang pertama ialah Antinomianisme. Antinomianisme secara harafiah  berarti “menentang atau sebagai  pengganti hukum,” menganggap bahwa tidak ada hukum-hukum moral yang mengikat, segala sesuatu itu bersifat relatif. Penganut antinomian sangat menekankan nilai individu di dalam membuat keputusan-keputusan etis.[6]
Sejarah Singkat Antinomianisme
              Setiap sistem etika yang terbentuk pasti memiliki sejarah yang tidak mungkin terlupakan. Demikian juga dengan antinomianisme etis memiliki sejarah panjang. Penulis tidak menguraikan sejarah antinomianisme yang begitu panjang, tetapi hanya  menguraikan sedikitnya ada tiga gerakan dalam dunia kuno yang mempengaruhi bangkitnya antinomianisme yaitu: prosesisme, hedonisme dan skeptisisme.[7]
              Prosesisme
              Dalam prosesnya terbentuknya sistem etika antinomianisme, seorang filsuf Yunani Kuno Heraclitus percaya segala sesuatu di dunia ini ada di dalam keadaan yang selalu berubah terus-menerus. Heraclitus berkata, “tidak ada orang yang menginjak ke dalam air sungai yang sama dua kali, karena air yang terus mengalir.” Hal ini jika diterapkan pada bidang etika, tidak ada hukum-hukum moral yang tetap ada. Setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi.[8]
              Hedonisme
Dalam prosesisme menyatakan bahwa setiap nilai etis akan berubah seiring dengan situasi yang ada. Hal ini berbeda dengan hedonisme. Penganut Epicurean kuno memberikan dorongan pada etika relativitas, yang membuat kenikmatan  sebagai esensi kebaikan dan rasa sakit sebagai esensi kejahatan, yang dikenal sebagai hedonisme. Kata hedon berasal dari bahasa Yunani yang berarti kenikmatan.[9] Kenikmatan relatif bagi orang, tempat dan zaman. Tinggal di desa merupakan hal yang menyenangkan bagi beberapa orang, tetapi sebagian orang merupakan penderitaan belaka. Dengan demikian pandangan ini menyatakan bahwa apa yang secara moral baik bagi seseorang mungkin jahat bagi orang lain.
              Skeptisisme
Selain prosesisme, hedonisme, ada juga skeptisisme yang mempengaruhi bangkitnya Antinomianisme. Orang skeptis menekankan bahwa setiap masalah memiliki dua sisi (salah atau benar) dan setiap pertanyaan dapat dibantah terus menerus. Dalam hal ini berarti tidak ada kesimpulan yang kuat dan final yang dapat ditarik. Dengan demikian etika ini menyatakan bahwa tidak ada yang akan dianggap benar atau salah secara mutlak.[10]
              Tanggapan Antinomianisme terhadap berbohong demi kebaikan atau              untuk menyelamatkan

Antinomianisme[11] mengklaim bahwa berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah tidak benar atau salah. Tidak ada hukum.It insists that there are no objective moral principles by which the issue can be judged right or wrong. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keadaan sebenarnya, di mana masalah tersebut dapat dinilai benar atau salah. The issue must be decided on subjective, personal, or pragmatic grounds, but not on any objective moral grounds. Masalah ini harus diputuskan di atas dasar pandangan perasaan sendiri, personal atau bersifat praktis dan berguna bagi umum, tetapi tidak di atas dasar moral yang sesuai keadaan sebenarnya. Dalam memutuskan masalah tersebut benar-benar tanpa sebuah hukum moral.[12]
Situasionisme
Sistem etika non-absolutisme yang kedua, ialah situasionisme. Situasionisme berpihak pada satu norma yang tidak bisa dipatahkan. Norma itu adalah hukum kasih. Posisinya bukan pandangan yang terbatas tanpa hukum yang berkata tidak ada hukum apapun, demikian pula bukan absolutisme total yang mempunyai hukum untuk segala sesuatu. Posisinya ada pada satu hukum untuk segala sesuatu, yaitu hukum kasih.[13]
Empat Prinsip Situasionisme
Menurut Fletcher, ada empat prinsip situasionisme yang dipergunakan yaitu: pragmatisme, relativisme, positivisme dan personalisme. Dengan adanya empat prinsip situsionalisme bukan bermaksud bahwa harus menyimpulkan situasionisme itu benar-benar bersifat relatif dan nonnormatif. Dalam hal ini diartikan bahwa di dalam kerangka norma kasih yang absolute ini, segala sesuatu yang lain bersifat pragmatis, relativistis, positivis, dan personalistis.[14]
              Pragmatisme
Pendapat Fletcher terhadap pendekatan pragmatisme ialah: “Yang benar hanya dikaitkan dengan cara kita”. Hal itu merupakan,  apa yang berguna atau apa yang memuaskan, memiliki tujuan yaitu, demi tercapainya kasih. Fletcher ingin supaya kasih dapat diwujudkan dan membawa hasil. Pendekatan ini mencari jawaban-jawaban yang konkret dan praktis.[15]   
              Relativisme
Di dalam relativisme menyatakan bahwa hanya ada satu yang absolut; segala sesuatu yang lain bersifat relatif untuknya. Harus ada satu yang mutlak untuk mendapatkan relativitas yang benar. Hanya satu yang mutlak yaitu kasih. Di dalam situasionisme, Kristen tolok ukurnya adalah kasih agape. Orang-orang Kristen harus dengan konstan mengingatkan dirinya sendiri bahwa segala sesuatu yang lain relatif untuk mengacu kepada kasih.[16]
            Positivisme
            Positivisme[17] menganggap bahwa nilai-nilai didasarkan pada kehendak bebas, bukan secara rasional. Emotivisme berbicara tentang nilai-nilai moral yang dipikirkan sebagai ungkapan-ungkapan perasaan seseorang daripada ketentuan untuk hidup seseorang. Etika positivistis atau emotif menempatkan seni dan moral di dalam kelompok yang sama, keduanya menghendaki satu keputusan atau lompatan iman. Pernyataan-pernyataan etis tidak mencari pembuktian; tetapi mencari pembenaran. Hanya satu di dalam satu norma yaitu kasih Kristen.[18]
            Personalisme
   Hanya manusia yang memiliki nilai pada dirinya. Nilai benda hanya bergantung pada “keadaan”. Nilai benda-benda ditentukan oleh keterkaitannya dengan manusia. Menurut Fletcher,[19] menganggap bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai intrinsik apa yang dimaksudkan Kant bagaimana memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan tidak pernah sebagai alat. Demikian arti kasih yaitu menghubungkan segala sesuatu pada kebaikan manusia.
            Hubungan antara pragmatisme, relatisme, Positivisme, dan Personalisme
            Hubungan empat prinsip situasionisme adalah situasionalisme etika dengan strategi pragmatis, taktik yang relativisme, sikap yang positivistis dan pemusatan nilai personalistis. Hal ini adalah satu etika dengan satu kemutlakan di mana segala sesuatu yang lain relatif. “Tujuan yang ingin dicapai bersifat pragmatis demi melakukan apa yang baik bagi seseorang.”[20]
            Tanggapan situasionisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk        menyelamatkan

            (3) Lying is sometimes right: There is only one universal law. Situationism, 11 such as that held by Joseph Fletcher, claims there is only one absolute moral law — and it is not truth-telling. 12 Love is the only absolute, and lying may be the loving thing to do.Penganut situasionisme[21] mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Hanya ada satu hukum universal[22] situationisme,  seperti yang dimiliki oleh Joseph Fletcher, mengklaim hanya ada satu hukum moral mutlak[23] yaitu kasih. Kasih adalah satu-satunya yang mutlak, dan berbohong mungkin dapat dilakukan untuk mengasihi. In fact, lying to save a life is the loving thing to do. Bahkan, berbohong untuk menyelamatkan nyawa adalah hal yang dapat dilakukan dengan penuh kasih. Hence, lying is sometimes right. Oleh karena itu, berbohong kadang-kadang benar.Any moral rule except love can and at times should be broken for love's sake. Setiap hukum moral kecuali kasih dapat dan harus dilanggar demi kasih. [24] Everything else is relative. Segala sesuatu yang lain adalah relatif, hanya satu hal yang absolut. Jadi penganut situasionis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan hidup secara moral dibenarkan.
Generalisme
Penganut generalisme,[25] percaya pada nilai dari hukum-hukum etis untuk membantu individu-individu menentukan tindakan yang mana yang mungkin membawa kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak dari manusia. Penganut generalisme bukanlah orang-orang absolutis, karena  biasanya menolak bahwa secara umum ada norma-norma etis yang mengikat, yang mewakili nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Beberapa Nilai Generalisme
              Tiga nilai yang berhubungan dengan pendekatan normatif  terhadap etika-etika seperti yang diambil oleh orang-orang Kristen. Pertama, generalisme merefleksikan satu kebutuhan akan norma-norma. Kedua, pandangan ini menawarkan satu solusi yang mungkin ke dalam norma-norma yang bertentangan. Ketiga, norma-norma yang tidak bisa dipatahkan.[26]
              Kebutuhan akan Norma-norma
              Generalisme mengakui kebutuhan akan norma-norma yaitu untuk mencapai tujuannya.[27] Tanpa norma-norma atau dasar-dasar normatif lainnya yang diambil  dari pengalaman manusia, tidak ada cara untuk menentukan hasil-hasil jangka panjang dari tindakan-tindakan seseorang. Tujuannya ialah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang diketahui untuk membuahkan hasil-hasil yang baik.
              Satu Solusi Terhadap Norma-norma yang Bertentangan
              Untuk memperoleh solusi terhadap norma-norma yang bertentangan, Generalisme menawarkan satu solusi terhadap problema tentang apa yang dilakukan ketika ada satu konflik kewajiban, seperti konflik antara mengatakan sebenarnya atau menyelamatkan hidup. Dalam hal ini, berbohong itu pada umumnya salah. Hanya ada satu tujuan yang mutlak yaitu “kebaikan besar”. Seluruh cara-cara atau peraturan-peratuaran, norma-norma itu relatif untuk tujuan kebaikan lebih besar.[28] Jika berbohong di dalam satu situasi akan menjadi lebih bermanfaat atau membantu bagi sebagian besar manusia, maka seseorang harus berbohong.[29]

              Satu norma yang tidak dapat dipatahkan
              Selain akan kebutuhan norma-norma, dan satu solusi terhadap norma-norma yang bertentangan,  beberapa generalis juga mencari satu norma yang tidak dapat dipatahkan. Beberapa generalis  menyodorkan satu kasus untuk peraturan-peraturan atau norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Beberapa generalis menawarkan argumen-argumen praktis, agar jangan pernah melanggar satu peraturan seperti menyelamatkan hidup. Keinginan yang sungguh-sungguh untuk memiliki norma-norma tingkah laku yang berarti dan tidak dapat dilanggar ialah satu aspek yang patut dipuji dari etika ini.[30]
              Tanggapan generalisme terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk          menyelamatkan

              Penganut generalisme mengklaim bahwa berbohong pada umumnya salah. Tidak ada hukum universal. In specific cases, however, this general rule can be broken. Sebagai satu peraturan, berbohong itu salah, tetapi di dalam kasus-kasus khusus peraturan yang umum ini dapat dilanggar karena tidak ada hukum moral universal, maka benar atau tidaknya suatu kebohongan bergantung pada hasilnya. Sebagian besar penganutMost generalists believe that lying to save a life is right because in this case the end justifies the m generalis percaya bahwa berbohong untuk menyelamatkan kehidupan itu benar karena dalam kasus ini akhirnya membenarkan cara yang diperlukan untuk mencapainya, tetapi  berbohong pada umumnya salah.[31]
Absolutisme Total
              Di atas telah menguraikan sistem-sistem etika dalam  kategori: non-absolutisme. Selain kategori non-absolutisme, diuraikan juga sistem etika kategori absolutisme. Di dalam penulisan tentang absolutisme, yang pertama dipaparkan tentang absolutisme total. Absolutisme total[32] adalah  seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian. (4) Lying is always wrong: There are many nonconflicting laws. Unqualified absolutism, 13 such as was taught by St. Augustine, claims there are many absolute moral laws, and none of them should ever be broken. 14 Truth is such a law.[33] 
  Kebenaran adalah hukum, harus selalu mengatakan kebenaran, meskipun seseorang  mungkin akan mati sebagai akibat dari hal tersebut. Truth is absolute, and absolutes cannot be broken. Kebenaran adalah mutlak, tidak dapat dilanggar, tidak ada pengecualian untuk mengatakan yang sebenarnya.Results are never used to break rules, even if the results are very desirable. Hasil-hasil tidak pernah digunakan sebagai alasan untuk melanggar peraturan, meskipun hasilnya merupakan hal yang diinginkan.[34] Bagian ini juga menjelaskan absolutisme total Saint Augustine, absolutisme total Kant, absolutisme total John Murray, dan providensia Allah.

Absolutisme Total Saint Augustine
  Uskup abad pertengahan Saint Augustine telah disalah mengerti sebagai seorang situasionis karena pernyataannya bahwa seseorang harus “mengasihi Allah dan melakukan seperti yang dikehendaki-Nya”. Augustine mendasari sistem etisnya secara keseluruhan dengan kasih, namun tidak berarti dia mendasarkan sistem itu hanya pada perintah kasih. Augustine yakin bahwa kasih mewujudkan kebaikan-kebaikan, tetapi kasih tidak mengusai semuanya. Kemurahan hati juga merupakan bentuk kebajikan yang lain.[35]
  Selain yakin bahwa kasih dan kemurahan hati yang harus dilakukan, Augustine juga berargumentasi untuk melawan kebohongan-kebohongan. Augustine mengatakan kebenaran itu adalah hal yang mutlak, dan hal-hal yang mutlak tidak dapat dilanggar.[36] Beberapa orang memberikan kesan bahwa berbohong itu diperbolehkan sebagai satu sarana untuk mendapatkan orang lain ke surga, tetapi Augustine bersikeras bahwa tidak ada kebaikan yang abadi yang dapat dikerjakan oleh kejahatan yang sementara. Pengajaran Kristen itu adalah kebenaran dan tidak ada dusta yang harus menjadi bagian dari pengajarannya.

Absolutisme Total Immanuel Kant
              Immanuel Kant (1724-1804)  adalah salah seorang pemikir yang paling berpengaruh di zaman modern. Kant adalah seorang agnostik yang mempelajari tentang mengetahui realitas pada dirinya, tetapi Kant juga seorang percaya yang saleh
di dalam Allah dan seorang absolutis moral.Some philosophers, most famously the German Immanuel Kant (1724-1804), believed that that lying was always wrong. Immanuel Kant, percaya bahwa  berbohong itu selalu salah.[37] Siapa pun yang berkata bohong, walaupun itu demi kebaikan, pasti ada konsekuensi-konsekuensinya. Sikap jujur di dalam seluruh deklarasi merupakan perintah sakral yang tidak bersyarat dari sebuah alasan, dan tidak dibatasi oleh kebijaksanaan manapun.[38]
Absolutisme Total John Murray
              Murray percaya bahwa hukum Allah itu mengikat secara mutlak. Kehendak Allah merupakan satu refleksi yang berkuasa dari karakter-Nya yang tidak berubah. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka demikian pula manusia. Standar moral di dalam Kitab Suci adalah: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Matius 5:48).
              Perintah untuk mengatakan kebenaran berasal dari hukum Allah yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian yang dapat dibuat untuk ini. Murray menulis, perlunya sifat yang sebenarnya di dalam diri manusia bergantung pada sifat yang sebenarnya dari Allah. Sama seperti manusia harus kudus karena Allah itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah selalu mengatakan yang sebenarnya.”[39]

Providensia Allah
              Dalam pembahasan ini penulis juga menyinggung bahwa di dalam absolutisme total tersirat ada dasar pikiran yang lain yaitu: providensia Allah. Orang-orang absolutis total menekankan bahwa di dalam providensia Allah Dia selalu membuat “satu alternatif ketiga” di dalam setiap dilema moral yang jelas kelihatan. Satu alternatif ketiga merupakan pilihan yang tepat, karena di dalam alternatif ini tidak berbohong, tetapi juga tidak menyerahkan diri atau orang lain untuk dibunuh. Lebih tepatnya ialah menggunakan hikmat dari Tuhan untuk bertindak supaya tidak berbohong dan tidak menyerahkan diri sendiri atau orang lain untuk dibunuh. Memang hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, maka itu harus beriman bahwa Tuhan pasti memberikan perlindungan kepada umat-Nya di tengah-tengah kesukaran. Di dalam beriman, sebaiknya juga meminta hikmat Tuhan supaya dapat bertindak  tepat tanpa berbuat dosa, tetapi tetap selamat. Dengan demikian tidak perlu  berdusta atau melanggar hukum moral mana pun untuk menyelamatkan hidup atau melakukan kebaikan moral lainnya.[40]
Tanggapan Absolutisme Total terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan

              Penganut absolutisme total mengklaim bahwa berbohong selalu salah. Ada banyak norma yang tidak saling bertentangan, terdapat banyak norma-norma universal yang tidak pernah secara nyata berbenturan. Pandangan ini dianut oleh absolutisme yang tak saling bertentangan (nonconflicting absolutisme)[41]  seperti yang diajarkan oleh Saint Augustine, mengklaim ada banyak hukum moral yang mutlak, dan tidak satu pun dari mereka pernah harus rusak.[42] 
Absolutisme Konflik
              Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik[43] adalah  manusia hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata pasti terjadi. Tetapi dasar pemikiran yang menyertai ialah ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan, oleh karena itu dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[44]
Latar Belakang Sejarah dari Absolutisme Konflik
              Absolutisme konflik berakar pada dunia Yunani, dan disesuaikan dengan pemikiran Reformasi dan diekspresikan di dalam eksistensial modern maupun pemikiran popular. Pandangan ini dapat disebut, pandangan untuk menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang paling tidak jahat. Konsep tentang hal-hal yang kurang jahat diberikan dimensi baru oleh doktrin Reformasi mengenai kerusakan moral, khususnya seperti yang dikembangkan oleh Martin Luther.[45]
              Ada dua hal yang diletakkan di dalam pemikiran Lutheran yang memberikan pertumbuhan kepada bentuk absolutisme konflik. Pertama, menjadi teori Luther mengenai dua kerajaan yaitu: orang-orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Hal ini bertentangan, karena orang Kristen memiliki tanggung jawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi konflik-konflik.[46] Kedua, pernyataan Luther bahwa “berbuat dosa dengan berani” diterima sebagai suatu penafsiran pemilihan hal yang kurang jahat. Luther menulis: “Jadilah seorang yang berdosa dan berbuat dosa dengan berani, tetapi yakinlah dengan lebih berani dan bersukacita di dalam Kristus, yang menang atas dosa, kematian dan dunia.
              Dalam hal di atas Helmut Thielicke memperhatikan bahwa Kristus menaklukkan dan mengusai bentuk dunia, jadi kompromi seperti itu perlu. Meskipun dosa itu kadang tidak dapat dielakkan, tetapi dosa dapat ditaklukkan melalui salib. Di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dosa itu tidak terelakkan, tetapi di dalam dunia yang sudah ditebus, dosa juga dapat diampuni. Geisler menerangkan lebih lanjut bahwa, konflik-konflik moral muncul dari fakta bahwa  dunia  yang telah jatuh ke dalam dosa. Dalam dunia seperti itu, akan ada saat-saat ketika manusia tidak dapat menghindarkan dari kejahatan.[47]
Prinsip Dasar dari Absolutisme Konflik
              Menurut Norman Geisler, ada empat alasan dasar di dalam absolutisme konflik. Pertama, hukum Allah itu mutlak dan tidak dapat dipatahkan. Kedua, di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa konflik-konflik yang tidak dapat dihindarkan antara perintah-perintah Allah. Ketiga, ketika konflik-konflik moral terjadi, sebaiknya melakukan hal yang kurang jahat. Keempat, pengampunan tersedia  bagi orang yang mengakui dosa-dosanya.[48]
Tanggapan Absolutisme Konflik terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan
        
              Penganut absolut konflik mengklaim bahwa  (5) Lying is forgivable: There are many conflicting laws. Conflicting absolutism 15 recognizes that we live in an evil world where absolute moral laws sometimes run into inevitable coberbohong dapat dimaafkan. Absolutisme konflik mengakui bahwa hidup di dunia yang jahat di mana hukum-hukum moral mutlak kadang-kadang mengalami konflik yang tidak terhindarkan.The German theologian Helmut Thielicke espoused this view. 16 The conflicting absolutist insists that in unavoidable conflicts it is our moral duty to do the lesser evil. Pandangan ini dianut oleh teolog Jerman Helmut Thielicke.[49]  Absolut  konflik menegaskan bahwa dalam konflik yang tidak dapat dihindarkan adalah kewajiban moral manusia untuk melakukan kejahatan yang lebih rendah. Dengan demikian berarti That is, we must break the lessharus melanggar hukum yang lebih rendah dan memohon belas kasihan. For instance, we should lie to save a life and then ask for forgiveness for breaking God's absolute moral law. Misalnya, seseorang harus berbohong demi menyelamatkan nyawa dan kemudian meminta pengampunan karena melanggar hukum moral absolut Allah.[50]Our moral dilemmas are sometimes unavoidable, but we are culpable anyway. Dilema moral ini kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, tetapi orang yang melakukan tetap  bersalah, maka perlu meminta pengampunan kepada Allah. God cannot change His absolute moral prescriptions because of our moral predicaments.
Absolutisme Bertingkat
Absolutisme bertingkat melihat ada suatu hirarki dari kebaikan, bahwa kewajiban-kewajiban moral kadang bertentangan, dan  tidak bersalah karena menaati kewajiban yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip dasar dari absolutisme bertingkat adalah: ada banyak prinsip-prinsip moral yang berakar di dalam karakter moral Allah yang mutlak, ada kewajiban-kewajiban moral yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Contohnya:  kasih kepada Allah merupakan satu kewajiban yang lebih besar daripada kasih kepada manusia; hukum-hukum moral ini kadang masuk ke dalam konflik moral yang tidak terelakkan; di dalam konflik-konflik tersebut diwajibkan untuk mengikuti hukum moral yang lebih tinggi. Pada waktu seseorang mengikuti hukum moral yang lebih tinggi orang tersebut tidak dianggap bertanggung jawab karena tidak memelihara hukum moral yang lebih rendah.[51]
Mengasihi Allah Lebih dari Mengasihi Manusia
              Perintah untuk “mengasihi”[52] Allah dan  mengasihi sesama manusia, merupakan perintah yang paling jelas dan mendasar. Mengasihi Allah lebih diutamakan daripada mengasihi manusia. Secara eksplisit Yesus menyatakan perintah untuk mengasihi Allah menjadi yang pertama dan terbesar (Mat. 22:36-38). Lebih lanjut Yesus mengajarkan bahwa kasih seseorang kepada Allah seharusnya harus lebih besar daripada kasih kepada orang tuanya sehingga kasih kepada orangtua akan kelihatan seperti membenci (Luk. 14:26). Implikasinya adalah jika orangtua mengajar seorang anak untuk membenci Allah, anak tersebut harus tidak menaati orang tua agar dapat menaati Allah.[53]
Menaati Allah Melebihi Pemerintah
              Orang-orang Kristen diperintahkan Allah untuk menaati pemerintah. Ketika ketidaktaatan kepada pemerintah disetujui Allah, hal ini dilakukan mengingat hukum moral yang lebih tinggi. Dalam Alkitab menggambarkan bahwa menyembah Allah itu lebih tinggi dari pemerintah (Dan. 3). Ketika pemerintah memberi tugas kepada bawahannya untuk melakukan pembunuhan terhadap korban-korban yang tidak bersalah (Kel.1), pemerintah seharusnya tidak ditaati. Di dalam setiap kasus kewajiban moral untuk berdoa, menyembah Allah, memberitakan Injil, dan seterusnya, merupakan satu kewajiban yang lebih tinggi daripada tugas untuk menaati pemerintah.[54]
Belas Kasihan Melebihi Kejujuran
              Hukum taurat yang kesembilan melarang berdusta (Kel. 20:16). Penipuan dan dusta berulangkali dihukum di dalam Kitab Suci (Ams. 12:22, 19:5). Namun sebaliknya, Alkitab menunjukkan bahwa ada kesempatan-kesempatan ketika berdusta dengan sengaja itu dapat dibenarkan. Dengan sengaja Rahab menipu untuk menyelamatkan nyawa mata-mata Israel. Tidak ada bagian Alkitab yang menyalahkan Rahab, karena penipuan yang dilakukannya. Kebohongan Rahab merupakan satu bagian yang integral dari tindakan belas kasihan yang diperlihatkan di dalam menyelamatkan nyawa para mata-mata. Selain itu, Alkitab berkata, “Rahab…akan tetap hidup, karena Rahab telah menyembunyikan orang suruhan yang kita suruh” (Yos. 6:17). Dengan demikian, kebohongan merupakan satu bagian yang integral dari imannya untuk mana Rahab dipuji oleh Allah (Ibr. 11:31; Yak. 2:25).[55]
Tangapan absolutisme bertingkat terhadap berbohong demi kebaikan atau untuk menyelamatkan

            (6) Lying is sometimes right: There are higher laws. Graded absolutism, 17 such as this author holds, insists there are many moral absolutes and they sometimes conflict.   Absolutisme bertingkat[56] mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Terdapat hukum-hukum yang lebih tinggi. Absolutisme bertingkat menganggap ada banyak hukum moral absolut dan hukum-hukum itu kadang bertentangan satu dengan yang lain. However, some laws are higher than others, so when there is an unavoidable conflict it is our duty to follow the higher moral lNamun, ada beberapa hukum yang lebih tinggi daripada yang lain. Dengan demikian, ketika terdapat satu pertentangan yang tidak dapat dihindarkan, maka kewajibannya adalah menaati hukum moral yang lebih tinggi. Jadi penganut absolutisme bertingkat mayakinkan bahwa berbohong demi menyelamatkan kehidupan seseorang adalah benar.[57]
Kerangka Pemikiran
              Berdasarkan  uraian di atas jelas bahwa ada enam sistem etika dasar, yaitu: antinomianisme, situasionisme, generalisme, absolutisme total, absolutisme konflik, dan absotisme bertingkat. Penulis lebih cenderung memilih absolutisme bertingkat. Absolutisme bertingkat mengklaim bahwa berbohong kadang-kadang benar. Alasannya adalah beberapa konflik-konflik moral yang secara pribadi tidak dapat dielakkan, di mana seorang individu tidak dapat menaati kedua perintah. Sebagian orang mengalami dilema, harus memilih satu pilihan diantara dua pilihan yaitu: menyelamatkan dan berbohong, atau pilihan kedua, berkata jujur tetapi tidak menyelamatkan orang dari ancaman kematian. Absolutisme bertingkat membenarkan, belas kasihan melebihi kejujuran, menaati Allah melebihi menaati manusia, mengasihi Allah lebih dari mengasihi manusia.
              Hal ini berarti orang yang berbohong demi menyelamatkan kehidupan dibenarkan, dengan catatan berbohong oleh karena benar-benar terjepit atau tidak bisa terhindarkan, demi menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian. Dalam pandangan ini dengan keadaan-keadaan tertentu seseorang tidak bersalah karena mengutamakan kewajiban yang lebih tinggi dari kewajiban yang lebih rendah. Argumen ini didukung karena Yesus berbicara tentang hal-hal “yang lebih berat” mengenai hukum taurat (Mat. 23:23), dan mengenai “yang kecil” (Mat. 5:19) dan perintah “yang paling besar” (Mat. 22:36), Yudas telah melakukan  “dosa yang lebih besar” (Yoh. 19:11).
              Penulis tidak memilih absolutisme total karena absolitisme ini menekankan  berbohong selalu salah, oleh karena hukum moral yang mutlak, maka dosa selalu bisa dihindarkan. Kenyataannya manusia telah berdosa, dan dosa itu tidak bisa dihindarkan. Penulis memilih absolutisme bertingkat oleh karena Alkitab sendiri membicarakan hal ini, di sinilah penulis menemukan jalan keluar.




















































Kerangka Pemikiran



Di dalam tingkatan-tingkatan kewajiban,  hukum taurat menyatakan bahwa: hukum pertama, manusia mengasihi Allah dan hukum kedua mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-39), (Mrk. 12:30-31), (Luk. 10:27-28). Hal ini berarti Yesus menyatakan bahwa perintah untuk mengasihi Allah menjadi yang “pertama” dan “terbesar.” [58]

Firman Tuhan mengatakan bahwa: “..semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23), setiap orang itu berdosa, walaupun orang itu berusaha sedemikian rupa tetap tidak bisa menghindari dosa. Walaupun ayat ini sepertinya bertentangan dengan (1 Kor.10:13) yang mengatakan bahwa di dalam setiap pencobaan selalu ada jalan keluar, namun dalam situsi terdesak sebagian orang tidak menemui jalan keluar, tetapi justru menemui jalan buntu, sehingga orang tersebut  secara spontan berbohong demi menyelamatkan. “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel. 20:16), berbohong itu dilarang oleh Allah. Jadi orang yang berbohong itu berdosa dan upah dosa ialah maut (Rm.6:23a). dalam hal ini harus diingat kembali bahwa manusia berdosa sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menghindari dosa atau maut itu. Keselamatan manusia tidak bisa diperoleh melalui usaha sendiri, tetapi pemberian Allah (Ef. 2:8). Penulis mengakui berbohong demi kebaikan itu tetap dosa, karena berbohong tidak dapat dibenarkan.
Jadi semua dosa dapat dihindari  melalui anugerah Allah. 










           






























Konflik antara berbagai Kewajiban Moral
Masalah yang paling mendesak ialah masalah konflik antara berbagai kewajiban moral. Bila seseorang mengalami dilema dalam prinsip moral, dengan sendirinya salah satu yang harus dipilih, sebaliknya ada salah satu harus mengalah. Orang tidak mungkin mengerjakan hal-hal yang berlawanan secara bersamaan. Misalnya, seseorang yang harus memilih antara berdusta untuk melindungi satu jiwa, atau mengatakan sebenarnya untuk menunjukkan kepada seorang pembunuh di mana korbannya bersembunyi.[59]










DAFTAR PUSTAKA


Augustine, Saint. On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian     Church, vol.    3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans,    1956), 198.

Lying and truth-tellingBerbohong dan Kebenaran-Telling
            http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/et       hics/lying/lying_1.html (diunduh 28 Maret 2014).

Berbohong Demi, http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/berbohong-demi.html    (diunduh 6 Maret  2014).

Browning,W.R.F. Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible. Jakarta: Bpk Gunung           Mulia, 2008.

Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya.            Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Cornish, Rick. 5 Menit Teologi. Bandung: Pionir Jaya, 2007.

Fletcher, Joseph. Situation Ethics: The New Morality (Philadelphia: Westminster     Press, 1974),198.

Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Fu, Timotius. Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan Volume 8 Nomor 1. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, April 2007.

Geisler, Norman L. Etika Kristen, Pilihan dan Isu. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000.





Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke tiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Kebohongan, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan (diunggah, 28 Maret 2014).

Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Lloyd M. Bucher. http://en.wikipedia.org/wiki/Hal_Holbrook (diunduh 20 Maret    2014).

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan.             http://www.wirantaprawira.de/pakorba/bagian_2.pdf (diunduh 26 Februari             2014). [1]Museum Ten Boom, http://tenboom.org/tentang-ten-boom-c708.php         (diunduh 19 Maret 2014).

Panduan Etika, http://www.bbc.co.uk/ethics/lying/lying_1.shtml (diunduh 28 Maret          2014).

Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966,             http://tapol.org/sites/default/files/sites/default/files/pdfs/Komnas%20HAM%2       01965%20report%20Indonesian.pdf (diunduh 17 Maret 2014).

Sei Ular, http://www.minihub.org/siarlist/msg04372.html (diunduh 17 Maret 2014).

Sitohang, Samin H.  Kasus-kasus dalam Perjanjian Lama. Bandung: Kalam Hidup,           2005.

Srotosudarmo, R.M. Drie. Etika Kristen untuk perguruan Tinggi, Etika Dasar dan Penerapannya dalam Hidup Praktis Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2007.

Suseno, Magnis dan Franz. Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks Kunci.      Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Thielicke, Helmut. Theological Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966),    198.    

Tonkelaar, Johan Dirk Alexander. Optimus Ludex: Over Het Belang Van de Selectie          Van Onze        Reahters.  London: Kluwer, 2001.

Wellem, Federiek Djara. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

White, Jerry. Kejujuran Moral dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.



















Christian theologian St. Augustine (354-430) taught that lying was always wrong, but accepted that this would be very difficult to live up to and that in real life people needed a get-out clause. Teolog Kristen St Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa berbohong itu selalu salah, tapi menerima bahwa ini akan sangat sulit untuk hidup sampai dan bahwa pada orang kehidupan nyata perlu get-out clause.[60]
Absolutisme Total
Alasan dasar dari absolutisme total adalah bahwa seluruh konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik, tetapi sebenarnya tidak konflik. Dosa selalu dapat dihindarkan. Ada hukum-hukum moral yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian.


Absolutisme Konflik
            Asumsi pokok dari sikap etis absolutisme konflik adalah bahwa kita hidup di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, dan dalam dunia seperti itu konflik-konflik moral yang nyata memang terjadi. Tetapi dasar pikiran yang menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan (menjadi konflik), secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Dalam kasus-kasus seperti itu, seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah. Bagian ini menjelaskan latar belakang sejarah, prinsip dasar, kontribusi positif, dan kritik dari absolutisme konflik.
            Dasar pemikiran yang menyertai adalah bahwa ketika dua kewajiban bertentangan, secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya. Hukum Allah tidak pernah dapat dipatahkan tanpa kesalahan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus seperti itu seseorang harus benar-benar melakukan yang kurang jahat, mengakui dosanya, dan memohon pengampunan Allah.[61]

Charles Hodge
            Hodge berpendapat bahwa pada waktu seseorang mengebawahkan suatu kewajiban moral yang lebih rendah menjadi lebih tinggi, berarti tidak berbuat dosa. Hodge yakin   untuk menipu dengan sengaja agar dapat menyelamatkan hidup adalah benar.
            Corrie Ten Boom tells how she lied to save Jews from the Nazi death camps.Corrie Ten Boom menceritakan bagaimana dia berbohong untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kamp-kamp kematian Nazi. More recently (1987), during US Senate hearings on the Iran-Contra issue, Lieutenant-Colonel Oliver North asserted that in the process of performing his duties he had lied to save innocent lives. The Hebrew midwives lied to save the baby boys Pharaoh had commanded them to kill (Exod. 1:19)



Apakah pernah tepat untuk berbohong untuk menyelamatkan kehidupan? This issue will serve to focus the differences between the six basic ethical systems. Masalah ini akan berfungsi untuk memfokuskan perbedaan antara enam sistem etika dasar.
            Many graded absolutists believe that mercy to the innocent is a greater moral duty than telling truth to the guilty.

Aspek-aspek positif  dari Absolutisme Total
            Absolutisme total memiliki banyak pujian sebagai satu etika Kristen. Pandangan ini didasarkan pada karakter Allah yang tidak berubah, naturnya adalah deontological, pandangan ini mempunyai kepercayaan di dalam providensia Allah dan memegang kepercayaan bahwa selalu ada jalan untuk menghindarkan perbuatan dosa.
Aspek-aspek Negatif dari Absolutisme  Total
















                [1]Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 410-411.
                [2]Norman L. Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000), 113.
                [3]Berbohong Demi, http://etikahidup.blogspot.com/2009/04/html (diunduh 6 Maret 2014).
                [4]W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, A Dictionary Of The Bible (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 43.
                [5]Ibid.
                [6]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 33.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, 34.
                [10]Ibid.
                [11]Federiek Djara Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 23. 
                [12]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 30.
                [13]Ibid, 53.
                [14]Ibid.
                [15]Ibid, 53.
                [16]Ibid.
                [17]Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen 2 (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996), 15.
                [18]Ibid.
                [19]Ibid, 54.
                [20]Ibid.
                [21]Franz Magnis Suseno, Pustaka Filsafat: Etika Abad Ke-20, 12 Teks Kunci (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 119.
                [22]Suatu Kebenaran Universal adalah suatu kewajiban yang mengikat semua orang pada segala zaman dan di semua tempat. Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 457.
                [23]Joseph Fletcher, Situation Ethics: The New Morality (Philadelphia: Westminster Press, 1974),198. Setiap Mutlak? Tentu Saja!
                [24]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 55.
                [25]Johan Dirk Alexander Tonkelaar, Optimus Ludex: Over Het Belang Van de Selectie Van Onze Reahters (London: Kluwer, 2001), 42.
                [26]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 88.
                [27]Ibid, 89.
                [28]Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 475.
                [29]Ibid.
                [30]Ibid, 90.
                [31]Ibid, 82.
                [32]Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 153.
                [33]Saint Augustine, On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol.  3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26 Maret 2014).
                [34]Ibid.
                [35]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 96.
                [36]Ibid, 97.
                [37] Lying and truth-tellingBerbohong dan Kebenaran-Telling http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.bbc.co.uk/ethics/lying/lying_1.html (diunduh 28 Maret 2014).
                [38]Ibid, 102.
                [39]John Murray, Principles of Conduct (Grand Rapids: Eerdmans, 1971), 127.
                [40]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 105.
                [41]D.E. Naat, Etika Kristen (Bandung: Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, 2010), 17.
                [42]Saint Augustine, On Lying, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, vol.  3, ed. Philip Schaff (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1956), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja! http://www.equip.org/articles/anyabsolutesabsolutely&prev=/search%3Fq%3Blie%2bih%3D683 (diunduh 26 Maret 2014).
                [43]Ibid, 31.
                [44]Ibid.
                [45]Ibid, 122.
                [46]Ibid, 122.
                [47]Ibid, 125.
                [48]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 125.
                [49]Helmut Thielicke, Theological Ethics, vol.1 (Philadelphia: Fortress Press, 1966), 198. Setiap Mutlak? Tentu Saja!
                [50]Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu, 31.
                [51]Ibid, 167.
                [52]John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, Penilaian atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer (Jakarta: OMF, 2005), 455.
                [53]Ibid, 151.
                [54]Ibid, 153.
                [55]Ibid.
                [56]Ibid, 141.
                [57]Ibid.
                [58]A.A. Sitompul, Sinopsis Tiga Injil (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 176.
                [59]Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2002), 459.
[60]Kebohongan, http://id.wikipedia.org/wiki/Kebohongan (diunggah, 28 Maret 2014).

                [61]Norman L. Geisler, Etika Kristen, Pilihan dan Isu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000), 121-122.